SastraNusa – FOMO, atau Fear of Missing Out, merupakan fenomena psikologis yang semakin umum di era digital saat ini.
Dengan kehadiran media sosial yang mendominasi kehidupan sehari-hari, banyak individu merasakan tekanan untuk terlibat dalam kegiatan sosial dan berbagai momen penting yang ditonjolkan dalam platform-platform tersebut.
Mengalami FOMO dapat mendorong seseorang untuk terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain, yang sering kali berujung pada perasaan tidak puas dan cemas.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi, sekitar 70% pengguna media sosial mengalami FOMO dalam satu bentuk atau lainnya.
Ketika pengguna melihat teman-teman mereka berpartisipasi dalam acara-acara menarik, berlibur ke lokasi-lokasi eksotis, atau sekadar berbagi pengalaman positif, mereka bisa merasa tertekan karena khawatir akan ketinggalan momen penting.
Perasaan ini mampu menciptakan spiral negatif di mana individu terpaksa terus-menerus memeriksa ponsel mereka untuk memperbarui informasi, yang pada gilirannya dapat mengganggu kesehatan mental mereka.
Kondisi ini juga membawa dampak pada interaksi sosial. Di tengah perasaan cemas dan kekhawatiran untuk ketinggalan, seseorang mungkin merasa terpaksa untuk berpartisipasi dalam aktivitas tertentu meskipun tidak berkenan atau tidak tertarik.
Contoh sederhana dapat dilihat ketika seseorang menghadiri sebuah pesta atau acara hanya untuk menghindari perasaan tertinggal, bukan karena keinginan pribadi.
Hal ini menunjukkan bahwa FOMO dapat mempengaruhi keputusan hidup seseorang dan membuat individu merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak mereka nikmati, sehingga memperburuk keadaan psikologis mereka.
Fenomena YOLO: Hidup Tanpa Batasan
Pertama kali muncul pada awal 2010-an, akronim YOLO, yang berarti “You Only Live Once,” menjadi mantra penting bagi banyak individu, terutama di kalangan generasi muda.
Konsep ini mendorong orang untuk mengambil risiko dan menikmati hidup tanpa berpikir terlalu jauh tentang konsekuensi.
Akibatnya, mentalitas YOLO dapat menyebabkan perilaku irasional, seperti pengambilan keputusan impulsif yang terkadang berisiko tinggi. Sementara dorongan ini bisa mendorong perasaan kebebasan, ada juga sisi gelap yang perlu diperhatikan.
Dari perspektif psikologis, fenomena YOLO sering kali berkaitan dengan tekanan sosial yang semakin meningkat di dunia digital.
Jejaring sosial memberikan platform bagi individu untuk berbagi pengalaman hidup yang ekstravaganza, selanjutnya menciptakan standar yang tidak realistis tentang bagaimana seharusnya seseorang menjalani hidup mereka.
Ini dapat menyebabkan individu merasa tertekan untuk selalu berpartisipasi dalam pengalaman yang spektakuler, bahkan ketika itu bertentangan dengan nilai atau keinginan pribadi mereka.
Sebuah studi menunjukkan bahwa hampir 60% anak muda merasa perlu untuk berbagi pengalaman berisiko demi mengumpulkan “likes” dan pengakuan di media sosial.
Di sisi lain, perilaku yang dipicu oleh mentalitas YOLO sering kali bersifat sementara dan dapat berujung pada penyesalan.
Misalnya, keputusan untuk berinvestasi dalam pengalaman besar, seperti perjalanan mendadak atau kegiatan ekstrim, tanpa perencanaan yang matang dapat menyebabkan masalah finansial atau konsekuensi kesehatan.
Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun semangat berani yang ditawarkan oleh YOLO bisa menginspirasi, penting untuk tetap mempertimbangkan faktor-faktor seperti keberlanjutan dan efek jangka panjang dari setiap tindakan.
Keterlibatan dalam tradisi hidup semacam ini mencerminkan kebutuhan mendalam untuk koneksi dan pengakuan dalam masyarakat yang terhubung secara digital.
Seiring dengan itu, bijaksana untuk mengingat bahwa hidup tidak hanya tentang pencarian pengalaman tanpa batas, tetapi juga tentang memahami nilai dari setiap pengalaman yang kita pilih untuk jalani.
Ketika kita menyadari pentingnya keseimbangan dalam hidup, kita dapat memperkaya pengalaman kita tanpa terjebak dalam tekanan yang sering kali diciptakan oleh masyarakat modern.
Tekanan Psikologis di Era Digital
Di era digital saat ini, individu seringkali menghadapi tekanan psikologis yang signifikan, terutama yang terkait dengan fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dan You Only Live Once (YOLO).
Dengan adanya berbagai platform media sosial yang memungkinkan komunikasi dan interaksi dalam waktu nyata, individu cenderung membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang ditampilkan secara glamor.