SastraNusa – Saat itu malam tenang, seorang pemuda duduk terdiam di sudut kamar dengan sebuah buku tebal di pangkuannya. Judulnya, Bumi Manusia.
Novel karya Pramoedya Ananta Toer ini telah membuatnya terhanyut dalam kisah perjuangan Minke, seorang pribumi yang harus menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan di masa kolonial Belanda.
Bukan hanya sekadar cerita sejarah, namun Bumi Manusia seolah membuka cermin besar yang menunjukkan betapa banyaknya ketidakadilan yang masih terjadi di zaman modern.
Pemuda itu berpikir, “Apakah ketidakadilan yang dialami Minke masih relevan dengan kondisi saat ini?”
Bumi Manusia, Sebuah Cermin Ketidakadilan Sosial
Novel Bumi Manusia pertama kali terbit pada tahun 1980 sebagai bagian dari tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
Mengisahkan kehidupan seorang pemuda Jawa bernama Minke di bawah pemerintahan kolonial Belanda, novel ini menggambarkan perjuangan pribumi melawan sistem kolonial yang menindas dan tidak adil.
Tokoh Minke, yang mewakili semangat perlawanan kaum intelektual pribumi, harus menghadapi ketidakadilan rasial, sosial, dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Indonesia pada masa itu.
Salah satu tema utama dalam Bumi Manusia adalah ketidakadilan yang dihadapi oleh pribumi dalam sistem kolonial. Minke, meskipun berpendidikan tinggi dan memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa, tetap dianggap rendah karena statusnya sebagai pribumi.
Diskriminasi yang dialami Minke dalam novel ini tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan, tetapi juga dalam kehidupan sosialnya.
Sebagai contoh, ketika Minke jatuh cinta dengan Annelies, seorang gadis Indo (campuran Eropa dan pribumi), cinta mereka harus menghadapi berbagai hambatan, termasuk hukum kolonial yang tidak adil.
Diskriminasi Sosial dan Ekonomi di Era Modern
Tak hanya di masa yang dikisahkan di novel Bumi Manusia, di era ini diskriminasi semacam itu masih berlanjut. Buktinya, dalam laporan Amnesty International tahun 2023, yakni ketidakadilan dan diskriminasi rasial masih menjadi masalah global yang signifikan.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, diskriminasi berbasis ras, suku, dan status ekonomi masih sering terjadi, meskipun undang-undang melarangnya. Dalam konteks ini, novel Bumi Manusia tetap relevan.
Diskriminasi yang dialami oleh Minke dan pribumi lainnya di bawah kekuasaan kolonial mencerminkan masalah yang masih dihadapi oleh masyarakat minoritas saat ini, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.
Laporan Amnesty International ini juga menyebutkan bahwa 30 persen masyarakat Indonesia yang berasal dari suku minoritas masih merasakan adanya diskriminasi dalam akses pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik.
Angka ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah merdeka selama lebih dari 75 tahun, warisan diskriminasi masih ada dalam berbagai bentuk, seolah membenarkan narasi yang disampaikan Pramoedya melalui tokoh Minke dalam Bumi Manusia.
Ketidakadilan Hukum, Dari Era Kolonial ke Masa Kini
Dalam novel Bumi Manusia, salah satu ketidakadilan paling mencolok adalah hukum yang berat sebelah.
Hukum kolonial dirancang untuk melindungi kepentingan penguasa Belanda dan orang-orang Eropa, sementara pribumi sering kali diperlakukan tidak adil.
Contoh paling menyakitkan dalam novel ini adalah ketika Annelies, yang masih sangat muda, harus dipisahkan dari Minke dan dikirim ke Belanda berdasarkan keputusan hukum yang tidak berpihak pada kepentingan pribumi.
Hukum kolonial tidak memberi ruang bagi mereka yang dianggap “inferior”, meskipun jelas-jelas mereka juga memiliki hak asasi manusia yang seharusnya dihormati.
Sayangnya, bayangan ketidakadilan hukum ini masih terasa hingga kini. Sudah menjadi rahasia umum ketimpangan akses terhadap keadilan masih terjadi di Indonesia. Bahkan hal itu telah disampaikan ke media sosial oleh orang-orang yang menuntut ketidak adilan.
Tidak sedikit medi-media besar menyoroti ketidakadilan yang meruncing kepada individu yang tidak memiliki kekuasaan.
Informasi ketidakadilan ini, justru memperlihatkan betapa hukum lebih berpihak pada pihak yang memiliki kekuasaan dan modal besar, sementara masyarakat menengah ke bawah kerap kali gagal mempertahankan haknya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ketidakadilan hukum yang digambarkan dalam Bumi Manusia tidak sepenuhnya hilang meski Indonesia telah merdeka.
Artinya, sistem hukum yang berat sebelah masih menjadi momok bagi masyarakat marginal, yang terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Relevansi Bumi Manusia di Era Digital
Meskipun Bumi Manusia berlatar belakang masa kolonial, pesan-pesan yang disampaikan oleh Pramoedya tetap relevan di era digital saat ini.
Di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi, ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum tetap ada dalam berbagai bentuk.
Namun, media sosial dan internet memberikan ruang bagi masyarakat untuk bersuara dan melawan ketidakadilan tersebut, sesuatu yang mungkin tidak dimiliki oleh Minke di masanya.
Begini, menurut survei dari We Are Social tahun 2024, sebanyak 63 persen masyarakat Indonesia aktif menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyuarakan pendapat mereka, termasuk mengenai isu-isu ketidakadilan sosial.
Platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok sering kali menjadi ruang bagi masyarakat untuk berbagi cerita tentang diskriminasi yang mereka alami, serta untuk mengorganisir gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan.
Tentunya hal ini menunjukkan bahwa meskipun tantangan ketidakadilan masih ada, masyarakat saat ini memiliki alat yang lebih kuat untuk melawan dan menyuarakan ketidakadilan tersebut.
Di sisi lain, meskipun media sosial telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk melawan ketidakadilan, ada juga tantangan baru yang muncul, seperti misinformasi dan hoaks yang dapat memecah belah masyarakat.
Hal ini justru mengingatkan kita pada pentingnya literasi dan pendidikan, dua hal yang juga sangat ditekankan oleh Pramoedya dalam novelnya.
Seperti halnya Minke yang berjuang untuk memperluas pemikirannya melalui pendidikan, generasi saat ini juga harus terus berjuang untuk meningkatkan literasi digital agar dapat memahami isu-isu kompleks di dunia modern.