Tradisi Tasyakuran Ketika Menjadi ASN, Cerminan Rasa Syukur atau Gengsi Sosial?

Ahmad Masrufi
8 Min Read
people laughing and talking outside during daytime
Tradisi Tasyakuran Ketika Menjadi ASN, Cerminan Rasa Syukur atau Gengsi Sosial? (Ilustrasi)
- Advertisement -

Dalam konteks ini, ukuran dan kemewahan dari acara tasyakuran bisa dieksplorasi sebagai indikator kelas sosial dan penerimaan di komunitas.

Banyak individu merasa tertekan untuk menggelar tasyakuran yang tidak hanya memperlihatkan rasa syukur, tetapi juga menampilkan kesuksesan dalam bentuk fisik dan jumlah undangan.

Dalam beberapa kasus nyata, kita dapat melihat bagaimana acaranya tidak lagi berfokus pada substansi syukur, tetapi lebih kepada bagaimana mereka dipersepsikan oleh orang lain.

Misalnya, penyelenggaraan tasyakuran yang megah dengan dekorasi berlebihan dan makanan yang melimpah menjadi simbol status.

- Advertisement -

Hal ini membuat sebagian orang merasa terdorong untuk berkompetisi satu sama lain, oleh karena itu, makna asli dari acara tersebut tergeser oleh ekspektasi sosial yang lebih mengutamakan penampilan daripada niat murni.

Kegiatan tasyakuran ini diubah menjadi penyampaian pesan tersirat bahwa kesuksesan dan pengakuan dapat diukur lewat sejauh mana seseorang dapat menghabiskan sumber daya untuk acara tersebut.

Di tengah fenomena ini, banyak orang mulai merenungkan tentang esensi sejati dari tradisi tasyakuran itu sendiri. Apakah benar makna dari acara tersebut telah bergeser, ataukah masih ada ruang untuk kembali ke nilai-nilai yang lebih sederhana dan tulus?.

Pertanyaan ini memerlukan perhatian lebih lanjut dari masyarakat dan individu, sehingga diharapkan tasyakuran dapat kembali menjadi perwujudan rasa syukur yang sesungguhnya tanpa dibayangi oleh gengsi sosial.

Kompetisi yang tidak sehat hanya akan menciptakan tekanan lebih bagi mereka yang baru melangkah ke dalam dunia ASN.

- Advertisement -

Refleksi Tradisi Tasyakuran

Tradisi tasyakuran yang dilaksanakan saat seseorang berhasil menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) memunculkan beragam perspektif dalam masyarakat.

Di satu sisi, tasyakuran dapat dilihat sebagai ungkapan rasa syukur yang tulus atas pencapaian dan usaha keras yang telah dilakukan.

Sebagian orang menganggap bahwa perayaan ini sebagai momen penting untuk menghargai keberhasilan, baik secara individu maupun kolektif.

- Advertisement -

Rasa syukur ini bisa berupa doa dan harapan untuk masa depan yang lebih baik, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi lingkungan sekitar.

Namun, tidak dapat disangkal bahwa tasyakuran juga seringkali terjebak dalam gengsi sosial. Ada kalanya, perayaan ini lebih ditujukan untuk menunjukkan status sosial seseorang di hadapan masyarakat.

Kegiatan tasyakuran yang megah, dengan undangan yang melibatkan banyak orang, kadang-kadang diselenggarakan bukan semata-mata sebagai ungkapan syukur, melainkan untuk mempertahankan citra atau reputasi.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan, sejauh mana sikap tulus dapat terwujud dalam praktek yang sering kali dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang berlaku.

Untuk menemukan keseimbangan yang sehat antara kedua perspektif ini, kita perlu merenungkan tujuan dari tasyakuran itu sendiri.

Penting bagi individu untuk menyadari bahwa perayaan seharusnya tidak sekadar formalitas, melainkan menjadi momen bermakna yang mampu menyentuh lebih dalam dengan mengedepankan rasa syukur sejati.

Mengatur tasyakuran secara sederhana namun berkesan dapat menjadi cara untuk menjauhkan diri dari tekanan sosial sekaligus merayakan pencapaian dengan cara yang lebih intim dan tulus.

Dalam kesimpulannya, momen tasyakuran seharusnya menjadi wadah untuk memperkuat hubungan antarkeluarga dan teman, serta sebagai refleksi dari rasa syukur yang estetik, tanpa harus terjebak dalam pameran gengsi sosial.(*)

Editor : Sholihul Huda

- Advertisement -
Share This Article