SastraNusa – Malam itu, gelap mulai merayap di sudut-sudut Dusun Baban. Di balik kandang, seorang bocah menahan napas.
Langkah-langkah kecil terdengar, mendekat dan menjauh, sementara suara anak lain menghitung dengan lantang dari arah tiang kayu di tengah pekarangan.
Di sela desah angin malam, terdengar tawa lirih yang segera terhenti ketika penjaga berbalik ke arah suara.
Itulah Silep, permainan tradisional yang telah menjadi bagian hidup anak-anak Dusun Baban, Desa Buker, Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang.
Dalam bayangan pohon kelapa dan rumah-rumah kayu, tradisi ini hidup dari generasi ke generasi, mengajarkan strategi, keberanian, dan kebersamaan.
Hompimpah ini Awal dari Segalanya
Permainan dimulai dengan Hompimpah, ritual sederhana yang menentukan siapa penjaga pertama.
Anak-anak melantunkan, “Hompimpa, lik palik tahu matta, nyambelli karepek, pasar malem mukka katok, nyiklak, nyiklak.”
Dalam hitungan detik, satu anak keluar sebagai “yang kalah” dan bersiap menjaga tiang.
Tiang itu, atau kadang sebuah pohon besar, menjadi pusat permainan. Anak yang kalah harus menjaga tiang sambil menghitung mundur dari angka sepuluh.
Sementara itu, anak-anak lain berlari mencari tempat persembunyian terbaik.
Di balik rumah, di dalam kandang, atau bahkan di sudut-sudut gelap ruang tamu, tempat sembunyi menjadi medan kreativitas.
Strategi dalam Keheningan
Permainan ini bukan sekadar berlari dan sembunyi. Ada strategi yang harus dipikirkan. Anak-anak yang bersembunyi sering bekerja sama, saling memberi tanda untuk menyerang penjaga secara tak terduga (Menyerang: menyentuh tiang).
Menyentuh tiang yang dijaga adalah kemenangan kecil yang membutuhkan keberanian dan perhitungan.
Namun, jika penjaga berhasil menemukan semua pemain, anak yang pertama kali ditemukan harus menggantikan peran sebagai penjaga. Di sinilah Silep mengajarkan kerja sama dan pengorbanan.
Tak jarang, seorang anak sengaja mengalihkan perhatian penjaga agar teman-temannya bisa menyerang tiang tanpa terlihat.
Nostalgia di Tengah Gempuran Teknologi
Moh. Tio, seorang pemuda Dusun Baban, mengenang masa kecilnya yang penuh tawa bersama teman-temannya.
Baginya, Silep bukan sekadar permainan, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas kampungnya.
Meski kini permainan di layar ponsel kerap menggoda anak-anak, Tio berharap Silep tetap bertahan sebagai warisan budaya yang hidup.
“Semoga permainan ini terus dimainkan sepanjang masa,” harapnya.
Ia percaya, Silep adalah salah satu kekayaan Sampang yang layak dicatat dan dilestarikan.
Pentingnya Peran Komunitas dan Pemerintah
Melestarikan Silep bukan tugas yang mudah. Dibutuhkan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat setempat.
Tio mengusulkan agar Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) melakukan pendataan permainan tradisional seperti Silep.
Pendataan ini bukan sekadar langkah administratif, namun adalah bentuk pengakuan bahwa permainan seperti Silep memiliki nilai edukasi, sosial, dan budaya yang penting.
Dengan dokumentasi yang baik, permainan ini bisa diperkenalkan kembali ke generasi muda, baik melalui sekolah maupun festival budaya.
Warisan yang Hidup
Permainan Silep adalah cerminan kehidupan masyarakat Sampang yang sederhana namun penuh makna.
Di balik lari-lari kecil dan tawa anak-anak, terdapat pelajaran tentang kerja sama, strategi, dan semangat kebersamaan.
Di tengah arus modernisasi, permainan ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu membutuhkan teknologi canggih.
Kadang, hanya sebuah tiang kayu dan sekelompok teman sudah cukup untuk menciptakan kenangan indah yang bertahan seumur hidup.
Dusun Baban mungkin kecil di peta, namun melalui permainan seperti Silep, ia mengajarkan bahwa tradisi adalah jantung dari identitas suatu bangsa.(*)