SastraNusa – Dunia monolog selalu menjadi panggung ekspresi dan ruang bagi seseorang yang ingin mengalirkan isi pikiran tanpa gangguan. Namun, pandemi yang lalu mengubah panggung. Tak lagi berdiri di atas lantai kayu dengan lampu sorot yang memancar hangat, panggung monolog berpindah ke dunia digital.
terus terang, kini, lomba monolog online menjadi alternatif kompetisi yang dirancang untuk tetap mendukung kreativitas di tengah keterbatasan ruang gerak. Meskipun begitu, kehadiran panggung virtual tidak serta-merta menggantikan keistimewaan panggung nyata.
Lomba monolog online memang membuka akses yang lebih luas, memungkinkan siapa saja dari berbagai belahan dunia untuk berpartisipasi.
Di satu sisi, kondisi ini memberikan ruang yang inklusif bagi para aktor pemula hingga profesional untuk unjuk kebolehan. Namun, di balik akses yang terkesan lebih terbuka ini, terdapat tantangan-tantangan nyata yang memengaruhi kualitas performa.
Layar laptop, ponsel, atau komputer mungkin mampu menayangkan monolog dalam bentuk visual dan audio, tetapi sulit untuk mereplikasi keintiman yang terbentuk antara aktor dan penonton ketika berhadapan langsung.
Tantangan Emosi yang Tereduksi di Panggung Digital
Berkenaan dengan monolog, salah satu keistimewaan utamanya terletak pada kemampuan aktor dalam membangun emosi dan keterhubungan dengan audiens.
Dalam sebuah pertunjukan langsung, misalnya, energi dan emosi yang dihadirkan oleh aktor tentu mampu dirasakan secara nyata oleh penonton. Namun, dalam format digital, efek ini cenderung tereduksi.
Interaksi emosi antara aktor dan audiens menjadi lebih terbatas, terutama karena perantara layar yang memisahkan keduanya. Bahkan, mata aktor yang menatap lurus ke arah kamera tidak akan memiliki daya tarik yang sama seperti ketika ia menatap langsung ke mata penonton.
Selain itu, respons dari penonton juga tidak dapat dirasakan oleh aktor saat melakukan monolog secara virtual. Padahal, dalam dunia pertunjukan, interaksi dan feedback dari penonton sangat berperan dalam menambah semangat dan memperkuat ekspresi emosional.
Dalam konteks ini, aktor sering kali mengalami “kekosongan” di layar. hal itu karena tidak ada tepukan tangan atau tawa yang dapat didengar secara langsung sebagai bentuk apresiasi.
Pengalaman seperti ini, justru menjadi salah satu batasan yang sulit dihindari dalam lomba monolog online, yakni menjadikan panggung digital memiliki keterbatasan tersendiri dalam membangun keterhubungan emosional.
Batasan Teknis yang Menghambat Kreativitas
Tidak hanya secara emosional, secara teknis pun panggung virtual menghadirkan berbagai batasan yang nyata.
Dalam kompetisi monolog konvensional, biasanya aktor memiliki kebebasan untuk menggunakan panggung, properti, dan pencahayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan monolognya.
Namun dalam lomba monolog online, aktor sangat terbatas pada perangkat yang dimiliki seperti kamera, mikrofon, dan perangkat lunak pengeditan video.
Tidak semua peserta memiliki akses yang sama terhadap teknologi canggih, dan hal ini menimbulkan ketidakadilan dalam kompetisi.
Masalah teknis lainnya seperti kualitas suara, resolusi gambar, dan latensi jaringan sering kali mengganggu performa aktor. Misalnya, suara yang tidak jernih atau gambar yang pecah-pecah dapat merusak keseluruhan pengalaman monolog bagi penonton.
Tak jarang, faktor teknis ini membuat pesan atau emosi yang ingin disampaikan aktor menjadi tidak sampai dengan baik.
Lomba monolog online pada akhirnya menempatkan peserta dalam kondisi yang serba terbatas, menuntut kreativitas untuk mengatasi kendala ini, namun tetap meninggalkan ketimpangan dalam kualitas penyampaian.
Dampak Mental Jika Monolog Tanpa Apresiasi Langsung
Pada dasarnya, setiap aktor yang terjun ke dunia monolog berusaha menampilkan emosi dan cerita dengan penuh penghayatan. Hal itu karena saat berada di atas panggung konvensional, setiap akting, mimik, dan dialog mereka disaksikan langsung oleh mata-mata yang mengapresiasi.
Dalam format online, apresiasi semacam itu nyaris tak terasa. Sehingga, tidak adanya kehadiran penonton secara langsung, dapat memengaruhi motivasi dan kepercayaan diri aktor.
Tak bisa dipungkiri, saat seorang aktor yang tampil tanpa penonton, akan sering merasa berbicara pada layar kosong, bukan pada sekumpulan orang yang berinteraksi dengannya secara emosional.
Perasaan kurang apresiasi ini, justru dapat berdampak pada kondisi mental aktor, terutama bagi mereka yang baru merintis karir di dunia seni. Banyak aktor pemula yang mengalami demotivasi karena merasa upaya mereka tidak diakui atau diapresiasi secara langsung.
Dalam hal ini, lomba monolog online sering kali meninggalkan ruang kosong bagi aktor yang berharap bisa membangun interaksi dengan audiens secara nyata. Bagi sebagian orang, pengalaman ini bahkan bisa menyebabkan perasaan canggung dan tidak nyaman saat beraksi di depan kamera tanpa penonton.
Tantangan Penjurian yang Kompleks dan Subjektif
Aspek lain yang cukup menantang dari lomba monolog online adalah proses penjurian yang berbeda dari biasanya. Penilaian dalam lomba monolog online sangat bergantung pada penilaian visual dan audio melalui layar.
Juri tidak bisa merasakan energi langsung dari aktor, sehingga aspek emosional dari monolog tersebut cenderung menjadi lebih subjektif.
Selain itu, kualitas video dan audio peserta yang berbeda-beda juga bisa memengaruhi penilaian, terutama jika kualitas teknis tersebut menghalangi penonton atau juri untuk menangkap ekspresi aktor dengan jelas.
Penjurian lomba monolog online juga harus mempertimbangkan faktor-faktor teknis seperti pencahayaan, suara, dan pengaturan latar. Namun, bagi beberapa aktor, ini bisa menjadi tantangan tambahan karena mereka harus memikirkan aspek teknis di samping akting.
Terkadang, aktor yang sebenarnya memiliki kemampuan akting yang kuat menjadi terhambat dalam penilaian karena kualitas video yang rendah atau audio yang tidak optimal. Tantangan ini, menunjukkan betapa rumitnya menilai seni pertunjukan dalam format digital, di mana faktor teknis dan kemampuan aktor harus dinilai secara bersamaan.