SastraNusa – Perubahan paradigma kebudayaan dapat dipahami sebagai tanggapan terhadap seluruh dinamika sosial yang terjadi di tengah kemajuan teknologi yang pesat.
Sejak abad ke-20, terutama dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat telah mengalami transformasi yang signifikan yang mempengaruhi cara manusia berinteraksi, membangun pengetahuan, dan mengkonstruksi nilai-nilai.
Salah satu faktor terpenting dalam perubahan ini adalah kemunculan kecerdasan buatan (AI), yang tidak hanya menggantikan fungsi manusia dalam berbagai sektor tetapi juga menggeser cara kita memahami dan menjalani kebudayaan itu sendiri.
Pemikiran Van Peursen mengemukakan pentingnya memahami kebudayaan sebagai hasil dari proses yang dinamis.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, kita menemui tantangan baru dalam mempertahankan nilai-nilai tradisional yang sering kali terancam oleh pengaruh modernisasi.
Di satu sisi, teknologi berfungsi sebagai alat untuk menyebarkan kebudayaan lebih luas, tetapi di sisi lain, ada risiko homogenisasi yang dapat mengabaikan kekayaan keragaman budaya.
Perdebatan ini menjadi semakin relevan dalam konteks pemikiran Van Peursen yang mengajukan bahwa kebudayaan harus dilihat dalam kerangka perjuangan antara tradisi dan inovasi.
Saat ini, masyarakat menghadapi dilema etis dan filosofi yang kompleks. AI menawarkan kemudahan dan efisiensi, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang identitas budaya, keaslian, dan keberlanjutan nilai-nilai lokal.
Kehadiran AI dalam kehidupan sehari-hari menuntut kita untuk merefleksikan kembali semua aspek kebudayaan dan bagaimana teknologi dapat dimanfaatkan tanpa mengorbankan integritas budaya.
Dengan demikian, penting untuk mengeksplorasi pemikiran Van Peursen lebih dalam sebagai panduan untuk menghadapi tantangan ini dan merumuskan strategi kebudayaan yang relevan di era AI.
Konsep Van Peursen: Inti dari Strategi Kebudayaan
Konsep Van Peursen mengenai strategi kebudayaan menekankan pentingnya interaksi antara kebudayaan dan masyarakat dalam menghadapi dinamika perubahan zaman, terutama dalam konteks teknologi yang terus berkembang.
Salah satu elemen kunci dalam teorinya adalah konsep dualisme kebudayaan, di mana Van Peursen mengidentifikasi dua aspek kebudayaan: kebudayaan sebagai produk dan kebudayaan sebagai proses.
Kebudayaan sebagai produk mencakup semua artefak, nilai, dan norma yang dihasilkan oleh masyarakat, sementara kebudayaan sebagai proses merujuk pada cara masyarakat berinteraksi dan membentuk kebudayaan itu sendiri.
Dalam pengertian ini, dia berargumen bahwa keberlanjutan nilai-nilai tersebut menjadi penting untuk menjaga stabilitas sosial di tengah perubahan yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI).
Di dalam kerangka tersebut, Van Peursen pula menyoroti peranan penting dari pendidikan dan dialog dalam memelihara keberlanjutan nilai kebudayaan.
Ia berpendapat bahwa pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga harus mencakup pembentukan karakter dan pemahaman kritis terhadap nilai-nilai kebudayaan lokal dan global.
Dengan demikian, masyarakat dapat mampu beradaptasi dengan perubahan, tanpa kehilangan identitas budaya yang telah diwariskan. Pendekatan ini, meskipun memiliki kelebihan, seperti memperkuat identitas budaya dan meningkatkan kesadaran sosial, tidak lepas dari tantangannya.
Salah satu kritik terkait adalah risiko stagnasi jika terlalu terfokus pada tradisi tanpa terbuka pada perubahan.
Relevansi strategi ini dalam era teknologi tinggi, khususnya AI, terletak pada tantangan bagaimana teknologi dapat digunakan untuk memperkuat atau bahkan mengancam nilai-nilai kebudayaan yang ada.
Van Peursen menekankan bahwa diperlukan kebijakan dan strategi yang sensitif terhadap konteks sosial agar teknologi dapat diterima dan dipastikan memberikan manfaat tanpa mengorbankan nilai-nilai kebudayaan yang telah ada.
Pendekatan kritis terhadap teknologi akan membantu masyarakat menjaga keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian budaya.
Era Kecerdasan Buatan: Meninjau Ulang dan Tantangan
Kecerdasan buatan (AI) telah menjadi pendorong utama dalam transformasi kebudayaan dan inovasi. Dampak dari teknologi ini sangat luas, mempengaruhi cara manusia berinteraksi, berkarya, dan bertindak dalam konteks kultural.
Dalam era digital ini, AI tidak hanya diadopsi dalam sektor industri, tetapi juga mulai memengaruhi bidang seni, komunikasi, dan pendidikan.