Hubungan sosial yang terjalin di antara sekelompok orang sering kali dipengaruhi oleh posisi sosial mereka, yang tercermin dalam cara mereka berinteraksi.
Misalnya, penggunaan bahasa Krama, yang dianggap lebih sopan dan formal, sering digunakan oleh kalangan yang lebih tinggi dalam hierarki sosial ketika berkomunikasi dengan sesama atau dengan orang yang memiliki status lebih rendah.
Dalam budaya Jawa, pengkodean basa-basi dapat terlihat dalam beragam situasi, seperti dalam acara formal atau pertemuan keluarga.
Individu yang status sosialnya lebih tinggi cenderung menggunakan basa-basi yang lebih alin dan kompleks, menunjukkan rasa hormat kepada yang lebih tua atau kepada mereka yang memiliki status sosial lebih tinggi.
Sebaliknya, penggunaan basa-basi yang lebih sederhana dapat ditemukan di kalangan mereka yang berada pada posisi sosial yang lebih rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat untuk menegaskan dan mempertahankan perbedaan sosial.
Pentingnya basa-basi dalam menciptakan hubungan sosial yang harmonis tidak dapat diabaikan. Di satu sisi, basa-basi dapat memperlebar jarak sosial, karena perbedaan dalam penggunaan bahasa bisa menciptakan kesenjangan antar individu.
Di sisi lain, penggunaan basa-basi yang tepat dapat juga memperkecil jarak tersebut, jika kedua belah pihak saling menghormati dan memahami posisi masing-masing.
Oleh karena itu, pemahaman tentang stratifikasi sosial dalam konteks basa-basi sangat penting untuk membangun hubungan yang saling menghormati dan memahami dalam masyarakat Jawa.
Basa-Basi dalam Konteks Modern
Basa-basi, sebagai elemen penting dalam interaksi sosial masyarakat Jawa, mengalami berbagai transformasi seiring dengan perubahan zaman. Dalam konteks modern saat ini, terutama di era digital, konsep basa-basi menghadapi tantangan dan peluang baru.
Generasi muda seringkali dihadapkan pada dilema antara mempertahankan tradisi basa-basi yang kaya atau menyesuaikannya dengan dinamika masyarakat urban yang lebih cepat dan langsung.
Bagi banyak orang, kecepatan komunikasi digital sering kali membuat interaksi menjadi lebih singkat dan kurang formal. Hal ini berpotensi mengurangi nuansa basa-basi yang selama ini menjadi jembatan antar individu.
Namun, di sisi lain, platform media sosial dan aplikasi pesan instan juga menciptakan ruang baru bagi ekspresi basa-basi.
Misalnya, penggunaan emotikon dan GIF sebagai bentuk basa-basi dalam komunikasi digital dapat dianggap sebagai adaptasi yang menyenangkan dan relevan untuk generasi saat ini.
Sementara masyarakat tradisional menggambarkan basa-basi dalam bentuk ungkapan lisan yang elaboratif, masyarakat kota sering mereduksinya menjadi interaksi yang lebih ringkas namun tetap bermakna.
Dalam hal ini, generasi muda menyadari pentingnya basa-basi sebagai sarana membangun hubungan yang baik antara individu, meskipun cara dan bentuknya telah berubah.
Mereka sering kali mengombinasikan nilai-nilai tradisional dengan inovasi modern, menciptakan sebuah bahasa baru yang mencerminkan identitas mereka yang berakar pada budaya Jawa, tetapi juga terbuka terhadap pengaruh global.
Dengan demikian, terdapat batasan antara pelestarian budaya dan kebutuhan untuk beradaptasi terhadap dinamika sosio-kultural.
Masyarakat harus menemukan keseimbangan yang tepat agar nilai-nilai basa-basi tetap relevan dalam konteks modern.
Penting bagi generasi muda untuk memahami akar budaya ini dan menemukan cara-cara baru untuk menerjemahkannya dalam interaksi sehari-hari mereka.(*)
Editor : Sholihul Huda