SastraNusa – Seorang dalang tua duduk di bawah pohon besar di alun-alun desa, dengan nada tenang ia melantunkan tembang Macapat. Suara seruling dan gendang mengiringinya, membentuk suasana magis yang membuat para pendengar terhanyut dalam cerita.
Tembang yang ia nyanyikan, entah itu dari tradisi Jawa atau Madura, memiliki kekuatan untuk membawa pendengarnya ke masa lalu.
Macapat, baik dari Jawa maupun Madura, bukan sekadar puisi yang dinyanyikan, tetapi sebuah warisan budaya yang mengandung nilai-nilai moral, filosofi, dan spiritualitas.
Namun, meski keduanya berasal dari akar budaya yang sama, ada perbedaan signifikan dalam gaya dan struktur yang menjadikan Macapat Jawa dan Madura begitu unik.
Struktural dan Filosofis Macapat Jawa
Macapat Jawa adalah salah satu bentuk puisi tradisional yang sangat kental dengan aturan-aturan baku, baik dalam segi gaya maupun struktur.
Dalam Macapat Jawa, setiap bait atau tembang terdiri dari sejumlah baris atau larik yang sudah ditentukan.
Setiap larik memiliki jumlah suku kata tertentu, yang disebut guru wilangan, dan juga diakhiri dengan bunyi vokal tertentu, yang disebut guru lagu. Ada juga yang disebut guru gatra, yaitu jumlah baris dalam setiap bait.
Beberapa tembang Macapat Jawa yang terkenal antara lain Dhandhanggula, Kinanthi, dan Pucung. Masing-masing memiliki aturan metrum yang berbeda.
Misalnya, Dhandhanggula memiliki 10 baris dalam satu bait, dengan jumlah suku kata bervariasi antara 7 hingga 10, sementara Pucung hanya memiliki 4 baris dengan jumlah suku kata tetap. Aturan ini menjadikan Macapat Jawa sangat terstruktur dan formal.
Secara filosofis, Macapat Jawa sering digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran spiritual dan moral.
Banyak tembang Macapat Jawa yang diambil dari naskah-naskah kuno, seperti Serat Wedhatama dan Serat Wulangreh, yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan, hubungan manusia dengan Tuhan, serta perilaku yang baik dalam masyarakat.
Pengaruh spiritualitas dan keagamaan sangat kental dalam setiap syairnya, menciptakan kesan mendalam dan serius pada Macapat Jawa.
Data tentang Popularitas Macapat Jawa
Menurut survei yang dilakukan oleh Balai Bahasa Yogyakarta pada tahun 2023, sekitar 68 persen masyarakat Jawa masih mengenal tembang Macapat, terutama generasi tua.
Namun, hanya sekitar 25 persen dari mereka yang masih aktif melantunkan tembang tersebut dalam kehidupan sehari-hari atau pada upacara-upacara adat.
Ini menunjukkan bahwa meskipun Macapat Jawa masih dikenal luas, praktiknya mulai berkurang seiring perkembangan zaman dan perubahan budaya masyarakat modern.
Selain itu, di sekolah-sekolah di Jawa, Macapat masih diajarkan sebagai bagian dari pelajaran budaya lokal, meskipun daya tariknya mulai kalah dengan musik-musik modern.
Tantangan utama dalam melestarikan Macapat Jawa adalah menjaga minat generasi muda agar tetap menghargai dan mempelajari seni sastra ini.
Fleksibel dan Dinamis Macapat Madura
Sementara itu, Macapat Madura memiliki gaya dan struktur yang berbeda. Meskipun masih mempertahankan beberapa elemen aturan seperti dalam Macapat Jawa, Macapat Madura cenderung lebih fleksibel dalam hal metrum dan pola sajak.
Dalam Macapat Madura, jumlah baris dan suku kata per baris tidak seketat aturan dalam Macapat Jawa. Ini membuat Macapat Madura lebih bebas dalam pengekspresiannya.
Macapat Madura sering dinyanyikan dalam upacara adat, ritual keagamaan, dan pertunjukan seni rakyat.
Salah satu ciri khas dari Macapat Madura adalah ritmenya yang lebih cepat dan dinamis dibandingkan dengan Macapat Jawa yang cenderung lebih lambat dan penuh penghayatan.
Gaya penyampaiannya juga lebih bervariasi, sering kali diiringi dengan alat musik tradisional seperti gamelan Madura, yang memiliki tempo yang lebih cepat dan energik.
Secara tematik, Macapat Madura juga mengandung nilai-nilai moral dan spiritual, namun lebih fokus pada kehidupan sehari-hari masyarakat Madura.
Misalnya, Macapat Madura sering kali bercerita tentang perjuangan hidup, pertanian, dan hubungan antar manusia.
Sifatnya yang lebih membumi ini membuat Macapat Madura lebih mudah diterima oleh masyarakat, dan sering kali digunakan sebagai media hiburan maupun edukasi di kalangan masyarakat Madura.
Data tentang Macapat Madura
Menurut penelitian dari Universitas Trunojoyo Madura pada tahun 2022, 75% masyarakat Madura masih aktif melantunkan Macapat, terutama di daerah pedesaan.
Penggunaan Macapat Madura dalam berbagai acara tradisional, seperti nyadar (ritual tolak bala) dan alal bhuta (ritual keagamaan), menjadikan Macapat Madura lebih hidup dan tetap relevan hingga saat ini.
Meski demikian, sama seperti Macapat Jawa, Macapat Madura juga menghadapi tantangan dalam melestarikan tradisi ini di tengah arus modernisasi.
Musik pop dan dangdut yang lebih populer di kalangan generasi muda Madura membuat Macapat mulai kehilangan tempatnya di hati anak muda, meskipun dalam komunitas-komunitas tertentu, upaya pelestarian masih terus dilakukan.
Perbandingan Gaya dan Struktur Macopat Jawa vs Madura
Jika dibandingkan, Macapat Jawa dan Madura memiliki perbedaan yang cukup mencolok dari segi gaya dan struktur. Macapat Jawa lebih kaku dan formal, dengan aturan yang sangat ketat terkait jumlah baris, suku kata, dan bunyi vokal.
Sementara itu, Macapat Madura lebih fleksibel dalam aturan tersebut, dengan pendekatan yang lebih dinamis dan ritmis.
Dari segi penyampaian, Macapat Jawa cenderung lebih filosofis dan serius, sering kali digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral dan spiritual yang dalam.
Di sisi lain, Macapat Madura lebih berfokus pada kehidupan sehari-hari dan sering digunakan sebagai media hiburan dan edukasi.
Meski berbeda, baik Macapat Jawa maupun Madura memiliki peran penting dalam melestarikan budaya dan sastra lisan Indonesia.
Keduanya mencerminkan kekayaan warisan budaya masing-masing daerah dan menjadi jembatan untuk memahami nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kekayaan dalam Perbedaan
Macapat Jawa dan Madura adalah dua bentuk seni sastra lisan yang menunjukkan keragaman budaya Nusantara.
Meskipun keduanya berasal dari tradisi yang sama, mereka berkembang dengan cara yang berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat dan budaya lokal masing-masing.
Macapat Jawa yang penuh aturan dan filosofi mencerminkan kedalaman spiritual dan moral, sementara Macapat Madura yang dinamis dan fleksibel menunjukkan semangat hidup masyarakat Madura yang lebih praktis.
Dalam menghadapi tantangan zaman modern, baik Macapat Jawa maupun Madura harus terus dilestarikan agar tidak punah ditelan perubahan.
Kedua bentuk Macapat ini mengajarkan kita tentang betapa pentingnya menghargai tradisi, karena di dalamnya tersimpan nilai-nilai kehidupan yang tak lekang oleh waktu.(*)