Bangun tidurku kali ini disambut dengan sebingkis paket yang datang dari seorang kawan
asal Tuban, Bang Ochid Wonk Toeban, seorang yang saya kenal sederhana dalam hidup dan aktif di beberapa kegiatan kesenian sejak tahun 2020.
Ia mengirimiku sepaket kaos
bertuliskan النون و الكاف بين, produk event pameran seni rupa dalam rangka Haul K.H Abdul Hamid Pasuruan yang terselenggara di pertengahan September ini. Setelah saya terima paket itu dan membukanya, ternyata isinya bukan hanya kaos event
Tawassul seri ketiga itu saja.
Sebuah buku bertajuk Ornamen Kesunyian juga turut menyembul dari balik lipatan kaos yang sudah kutunggu kedatangannya sejak beberapa hari lalu.
Saya sempat tertegun ketika menemukan sebuah buku bersampul hitam kebiruan itu ikut berada di dalam paket. Sempat merasa aneh saat pertama kali menemukannya terselip,
tetapi, ah barangkali kawanku ini ingin memberi kejutan kepadaku, atau agar rak bukuku semakin penuh terisi dengan tambahan buku darinya ini. hehe
Meski sempat merasa ‘sungkan’ pada Kang Rosyid (begitu saya memanggilnya) lantaran
sampai kini saya belum bisa membeli buku ini, tapi saya tak heran dengan ulah kawan
berambut gondrong yang gemar membuat kejutan-kejutan untuk menyenangkan hati
kawan-kawannya.
Ia tak jarang memberi hadiah kepada siapa yang ia kenal. Baik di dunia nyata, maupun dalam dunia maya. Termasuk dengan puisi buatannya, atau pembacaan puisi karya orang lain.
Semua itu saya yakin dilakukan atas dasar ikhlas ingin merawat persaudaraan atau sebagai bentuk apresiasi.
Kisah hal-hal sederhana untuk membuat senang orang lain semacam itu kerap saya dengar dari banyak orang. Utamanya dari kalangan penganut jalan sufi jalur kebudayaan.
Seperti Bang Ochid ini, selain ia menulis karya sastra, ternyata ia juga cakap di bidang seni rupa (setahuku lukis dan bonsai), barangkali boleh saya katakan bahwa dia adalah penganut jalan sufi yang saya maksud.
Dari pengamatan saya melalui media sosial dan beberapa kali bertemu, semua bidang yang ditekuninya itu (termasuk berkesenian, berdagang, nyantri, dan lain-lainnya) dilakoni dengan sederhana.
Sangat sederhana, bahkan. Lakunya yang sederhana itu dapat
ditemukan dari cara dan gayanya berpakaian, berbicara, atau mungkin bila perlu silahkan
ditilik pada aktifitas kesehariannya di rumah. Setahuku, di kehidupan sehari hari, Bang
Ochid berprofesi sebagai penjual jamu dan pembudidaya bonsai. Profesi yang cukup sederhana, bukan?
Kesederahanaan yang masih terjaga di tengah kehidupan manusia modern di abad ini sungguh membuatku takjub.
Sebagaimana ketakjubanku pada warna sampul buku yang sama dengan warna kaos yang saya terima: sama-sama bernuansa biru, warna yang saya suka setelah warna hitam.
Bukan itu saja, yang justru membuatku lebih takjub lagi ialah sebuah puisi yang pertama kali saya jumpai di dalam buku Ornamen Kesunyian ini.
Aku belum menemu Senja di Hatimu
Waktu itu
tatapan matamu
benar-benar berani
mengenakan baju dalam dingin empedu
mencintai
dan sekali lagi
aku temukan butiran air mata telah kering
saat hatiku berpaling
ini duka yang siapa
bila hujan masih sama dalam jelaga jiwa
sementara inginmu
sedikit memilih jalan pulang
untuk sekedar mendekap rindu
dalam kamar pengantin yang sunyi
dari tawa dan buah khuldi
aku memanggilmu dari hati
merasakan gelisah waktu dan mimpi
untuk seribu alasan memiliki
setitik embun Muhammad
yang mungkin tersisa dikamar pribadi
seorang penulis
mengabadikan bening mencintai
Tuban, 20.05.2022 // bang ochid //
Membaca puisi tersebut, saya merasa seperti sedang dihadirkan kembali pada memori
perjalanan cinta yang pernah saya lalui. Yaitu sebuah keberanian untuk mengambil
keputusan mencintai seorang wanita yang kini menjadi pendamping hidupku.
Waktu itu tatapan matamu benar-benar berani
mengenakan baju dalam dingin empedu mencintai
Dari petikan larik-larik puisi tersebut, saya benar-benar diingatkan pada ucapan kekasihku
yang kerap memuja-muja tatapan mataku yang membuat kami saling jatuh cinta. Barangkali
memang benar, cinta tumbuh dari padangan pertama.
Hanya saja, memang, waktu itu keberanian kami untuk memilih bersama memang di luar
nalar. Saya yang hanya begini-begini saya tanpa memiliki kelebihan atau prestasi sedikit
pun, nekat menyunting gadis yang menyandang banyak kelebihan, skill, dan prestasi tinggi.
Begitu pun kekasihku, ia yang sudah tentu banyak yang menghendaki, tetapi justru
memilihku untuk hidup bersama. Hingga terjalin sebuah ikatan dan berumah-tangga.Peristiwa itu seperti ditangkap betul oleh penulis puisi, yang barangkali sedikit
menertawakanku lantaran kenekatanku berani jatuh pada kubangan cinta yang dingin bak
empedu.
dan sekali lagi aku temukan butiran air mata telah kering saat hatiku berpaling
Pada petikan ini, sepertinya penulis puisi juga sedang meledekku. Sebab, memang
terkadang, yang namanya hidup berkeluarga sudah tentu ada saja cobaannya. Ada saja
ujiannya. Tidak bahagia terus, terkadang juga ada susahnya. Tak sabar terus, terkadang pun
sering selisihnya.
Di sini, penulis juga seperti sedang mengingatkanku pada banyak persoalan, rintangan, ujian, godaan, atau gejolak yang pernah saya (atau kami) alami.
Terkadang ada yang tuntas dengan bahagia, terkadang pula sampai menumpahkan air mata. Tetapi suatu hal yang penting untuk diingat, adalah agar air mata sang kekasih tidak sampai tumpah, maka janganlah hati ini berpaling. Sebab jika berpaling, air mata akan tumpah hingga pun kering.
ini duka yang siapa
bila hujan masih sama dalam jelaga jiwa
sementara inginmu
sedikit memilih jalan pulang
untuk sekedar mendekap rindu
dalam kamar pengantin yang sunyi
Tetapi kemudian saya seperti sedang disadarkan pada hakekat cinta yang kujalani. Bahwa
segala yang terjadi adalah kehendak ilahi.
Maka, di sini saya menemukan sebuah solusi
untuk sama-sama dimengerti, bahwa muasal dari segala kejadian bersumber dari ketentuan
Tuhan dan pilihan hidup siapa yang menjalani. Tentu, penuh dengan tawaran konsekwensi.
Tetapi percayalah, seberat apapun persoalan dalam hidup berkeluarga, sebesar apapun
cobaan dan ujiannya, ada saja solusinya.
Ada saja jalan keluarnya yang lantas menjadikan
bahagia.
dari tawa dan buah khuldi
aku memanggilmu dari hati
merasakan gelisah waktu dan mimpi
untuk seribu alasan memiliki
setitik embun Muhammad
yang mungkin tersisa dikamar pribadi
seorang penulis
mengabadikan bening mencintai
Petikan puisi di atas menyajikan fakta bahwa, sesungguhnya tidak ada persoalan yang tak
dapat terselesaikan. Setiap persoalan, pasti ada jawabannya. Setiap masalah, akan ada
jalan keluarnya.
Dan segalanya kesalahan masih berkemungkinan dapat diperbaiki.
Terkadang, memang ada suatu persoalan yang tak terselesaikan. Sampai-sampai terjadilah
pergolakan panjang. Sang istri bisa saja meminta untuk pulang ke rumahnya, atau bahkan pisah, yang seakan-akan telah menjadi keputusan bulat dan tak bisa diganggu-gugat,
padahal, bila rindu datang menyergap, sungguh, manusia akan kehilangan jiwanya.
Dan percayalah, “ranjang adalah solusi segala masalah,” itu kata Sholihul Huda, seorang filsuf
senior saya. Hehe
Entah, ini sebuah kebetulan atau memang suatu peristiwa puitis yang memang menjadi
takdir alam yang mempertemukanku dengannya atau juga sebaliknya.Yang pasti pembaca yang memiliki pengalaman histori sama sepertiku untuk berhati-hati benar
dengan cinta.
Lebih-lebih, orang sepertiku ini harus lebih banyak belajar lagi menerima
konsekwensi cinta yang dengan berani telah didalami.
Bagi saya—pembaca yang mencoba bertadabbur secara ngawur saja ini, segala peristiwa dan perjalanan cinta seorang manusia, muaranya adalah kepada baginda Nabi Muhammad.
Tidak terkecuali soal asmara. Hendaknya dalam menjalani cinta, kita menyertakan baginda
Nabi, meneladani ajaran beliau, atau setidaknya berupaya mengikuti jalan cintanya yang hanya karena (atau kepada) sang ilahi.
Secara garis besar, puisi yang tertulis pada lembar halaman 4 (empat) dalam buku Ornamen Kesunyian ini memiliki makna mendalam yang ada hubungannya dengan persoalan cinta.
Barangkali bukan sepenuhnya perihal asmara, akan tetapi, dalam hal ini penulis mampu
menguatkan jiwa para pecinta yang terkadang mengalami kesunyian.
Tabik.
M. Lutfi
Gresik, 27 September 2024