Jam Biologis dan Budaya, Mengapa Tiga Kali Makan Jadi Rutinitas di Jawa dan Madura?

Ahmad Masrufi By Ahmad Masrufi
4 Min Read
rice, dish, food
Jam Biologis dan Budaya, Mengapa Tiga Kali Makan Jadi Rutinitas di Jawa dan Madura? (Ilustrasi)
- Advertisement -

SastraNusa – Masyarakat Jawa dan Madura dikenal memiliki rutinitas makan yang teratur, khususnya dalam hal jumlah waktu makan setiap hari. Tradisi ini bukan sekadar kebetulan, melainkan terkait erat dengan konsep jam biologis dan budaya yang telah tertanam dalam kehidupan sehari-hari.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kebiasaan makan yang teratur, tetapi juga menggambarkan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi.

Jam Biologis dan Kehidupan Sehari-hari

Di Jawa dan Madura, pola makan tiga kali sehari menjadi norma yang dipegang teguh. Pagi, siang, dan malam adalah waktu-waktu yang dijadikan sebagai momen untuk mengonsumsi makanan utama.

Ini tidak hanya didasarkan pada kebutuhan fisik, tetapi juga mengikuti ritme alami tubuh yang dikenal sebagai jam biologis.

- Advertisement -

Menurut penelitian, tubuh manusia memiliki jam biologis internal yang mengatur kapan kita merasa lapar dan kapan kita merasa kenyang.

Pada pagi hari, tubuh cenderung memerlukan asupan energi untuk memulai aktivitas, sehingga sarapan menjadi penting.

Siang hari adalah waktu saat aktivitas tubuh mencapai puncaknya, sehingga makan siang diperlukan untuk mengisi energi yang terkuras.

Malam hari, tubuh cenderung memperlambat metabolisme, sehingga makan malam yang ringan menjadi pilihan yang bijak.

Aspek Budaya dalam Pola Makan

Selain aspek biologis, pola makan tiga kali sehari di Jawa dan Madura juga memiliki akar dalam nilai-nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat setempat.

- Advertisement -

Makan bersama keluarga pada waktu yang telah ditentukan menjadi kesempatan untuk mempererat hubungan sosial dan membangun solidaritas.

Aktivitas ini tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan nutrisi, tetapi juga menjadi momen berbagi cerita, pengalaman, dan kebersamaan.

Dalam budaya Jawa, misalnya, makan bersama keluarga atau dalam acara adat seperti slametan memiliki makna mendalam sebagai wujud syukur atas berkah yang diterima.

- Advertisement -

Tradisi ini juga menunjukkan rasa hormat kepada yang lebih tua dan pemimpin keluarga. Di Madura, pola makan yang teratur juga menjadi simbol kebersamaan dan solidaritas dalam menjaga harmoni keluarga dan komunitas.

Pengaruh Globalisasi dan Perubahan Pola Makan

Meskipun demikian, pola makan tradisional di Jawa dan Madura tidak luput dari pengaruh globalisasi dan perubahan zaman.

Pengenalan makanan cepat saji dan gaya hidup yang lebih sibuk di kota-kota besar telah membawa perubahan dalam cara masyarakat mengatur pola makan mereka.

Namun, nilai-nilai tradisional tentang pentingnya waktu makan dan kebersamaan masih dijunjung tinggi, terutama dalam acara-acara khusus dan saat merayakan tradisi-tradisi adat.

Keunikan dan Kekuatan Tradisi

Keunikan pola makan tiga kali sehari di Jawa dan Madura bukan hanya tentang rutinitas fisik, tetapi juga tentang bagaimana tradisi ini mampu mempertahankan jati diri budaya setempat di tengah arus globalisasi.

Masyarakat setempat tetap teguh mempertahankan nilai-nilai ini sebagai bagian integral dari identitas mereka, meskipun tuntutan zaman terus berubah.

Pola Makan Sebagai Identitas Budaya

Pola makan tiga kali sehari di Jawa dan Madura bukan sekadar rutinitas, tetapi juga cerminan dari jam biologis dan nilai-nilai budaya yang kental.

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat setempat tidak hanya menjalankan tradisi ini sebagai kebutuhan fisik, tetapi juga sebagai warisan yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang.

Dengan memahami hubungan antara jam biologis dan budaya, kita dapat lebih menghargai kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Jawa dan Madura, serta pentingnya menjaga kesinambungan nilai-nilai tradisional dalam menghadapi tantangan zaman.(*)

- Advertisement -
Share This Article