SastraNusa – Di balik setiap tradisi yang berkembang di suatu daerah, selalu ada makna mendalam yang melekat pada kebiasaan tersebut.
Begitu pula dengan tradisi Toron Tana atau yang dikenal dalam bahasa Madura sebagai Patoju’ yang berasal dari Kampung Gulbung, Desa Gulbung, Kecamatan Pangarengan, Kabupaten Sampang.
Tradisi ini bukan sekadar ritual biasa, melainkan sebuah simbol harapan dan doa bagi masa depan sang bayi.
Hingga kini, meski zaman terus berkembang, budaya ini tetap dipertahankan dengan penuh penghormatan oleh masyarakat setempat.
Sejarah Tradisi Toron Tana
Toron Tana sudah ada sejak zaman masuknya Islam ke Madura. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa tradisi ini bukan hanya bagian dari adat, tetapi juga mencerminkan pengaruh agama yang mengakar.
Bagi masyarakat Madura, khususnya yang ada di Sampang, tradisi ini dianggap penting karena memiliki berbagai tujuan, salah satunya sebagai syarat agar bayi yang berusia tujuh bulan diperbolehkan menyentuh tanah.
Kepercayaan ini diyakini dapat melindungi bayi dari penyakit cacar basah (poro ola’) yang konon dapat menyerang jika aturan ini dilanggar.
Namun, bukan hanya soal kesehatan, tradisi Toron Tana juga memiliki dimensi spiritual yang dalam.
Masyarakat Madura percaya bahwa dengan menjalankan ritual ini, mereka dapat mengetahui masa depan bayi, bahkan hingga anak tersebut beranjak dewasa atau setengah tua.
Sebuah prospek yang mencerminkan kebijaksanaan masyarakat yang percaya bahwa setiap anak memiliki jalan hidup yang sudah digariskan, yang dapat terlihat sejak dini melalui sebuah tanda.
Proses Pelaksanaan Toron Tana
Ritual Toron Tana bukanlah hal yang sembarangan. Ini adalah prosesi yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dan perhatian terhadap setiap detail yang terlibat.
Sebagai contoh, dalam keluarga Rohilah, tradisi ini telah dilaksanakan turun-temurun.
Ketika cucunya, Maulana, saat itu baru berusia tujuh bulan, harus menjalani ritual ini, persiapan dilakukan dengan hati-hati.
Rohilah mengungkapkan bahwa ia pun menjalani ritual serupa saat masih berusia tujuh bulan.
“Saat masih berumur tujuh bulanan, saya juga melalui tradisi ini,” ungkap dia.
Perlengkapan yang dipersiapkan untuk ritual ini sangat khas dan sarat makna.
Di antaranya, ada lengser atau nampan dari seng yang biasa digunakan untuk menyajikan kopi atau nasi kepada tamu.
Lengser ini berfungsi sebagai tempat bayi duduk, yang menjadi pusat dari prosesi.
Selain itu, ada juga beberapa barang lain yang diletakkan di atas lengser, yakni tettel (jajan lamaran), beras, jagung, tasbih, dan Al-Qur’an.
Semua ini memiliki makna simbolis yang sangat penting bagi kehidupan bayi yang sedang menjalani prosesi ini.
Makna Simbolis Setiap Barang yang Diletakkan
Setiap barang yang diletakkan di depan bayi bukanlah tanpa arti. Mereka mewakili harapan dan doa yang tulus untuk masa depan sang bayi.
“Jika bayi yang diletakkan itu mengambil tasbih, kelak bayi akan gemar berdzikir. Kalau bayi mengambil jagung, nanti saat dewasa, akan pintar berdagang. Jika beras yang diambil, berarti sang bayi pintar dalam bidang pertanian,” jelas Rohilah dengan penuh keyakinan.
Tak hanya itu, ada pula harapan besar yang tertanam pada bayi yang mengambil Al-Qur’an.
“Jika bayi mengambil Al-Qur’an, kelak akan jadi orang soleh,” tambahnya.
Kehadiran berbagai benda ini memiliki tujuan agar sang bayi dapat menjalani kehidupan dengan baik, sesuai dengan bakat atau jalan hidup yang ditunjukkan lewat pilihan benda yang diambil.
Bahkan, meskipun ini hanyalah sebuah prediksi, masyarakat setempat meyakini bahwa pilihan bayi saat ritual ini memberikan petunjuk tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
Doa dan Harapan dalam Toron Tana
Salah satu aspek yang tidak bisa terlewatkan dalam prosesi Toron Tana adalah doa selamat yang dibacakan oleh seorang sesepuh atau kiyai setempat.
Doa ini dipercaya akan memberikan perlindungan dan berkah bagi sang bayi.
Setelah doa selesai dibacakan, bayi pun akan mengakhiri ritual dengan memilih salah satu benda yang terletak di depan lengser.
Itulah tanda bahwa ritual Toron Tana telah selesai dan harapan baik untuk masa depan bayi sudah disampaikan.
Dengan tradisi ini, masyarakat Madura, khususnya di Kampung Gulbung, tidak hanya menjaga adat istiadat mereka, tetapi juga memperkuat ikatan spiritual dengan nenek moyang yang sudah mewariskan tradisi ini.
Toron Tana bukan sekadar ritual, tetapi sebuah cara untuk terus menjaga nilai-nilai kehidupan dan menjaga anak-anak agar tetap berjalan di jalur yang baik.
Menjaga Warisan Budaya
Meskipun tradisi Toron Tana terlihat sebagai sebuah ritual kuno, bagi masyarakat Madura, ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Sebagai warisan budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu, Toron Tana tetap dipertahankan dengan sepenuh hati.
Tradisi ini bukan hanya menghubungkan generasi yang satu dengan yang lain, tetapi juga mengajarkan tentang pentingnya rasa syukur dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Bagi Rohilah dan banyak keluarga lainnya, menjalankan tradisi ini adalah sebuah kewajiban dan cara untuk mendoakan generasi berikutnya.
Semangat yang terkandung dalam ritual ini mengingatkan akan pentingnya menjaga tradisi agar tidak hilang ditelan zaman.
Toron Tana adalah cerminan dari masyarakat Madura yang tetap teguh pada nilai-nilai mereka, dan itu adalah warisan yang berharga untuk diteruskan.(*)