Pada masa ini, banyak film yang mencoba menggambarkan perjuangan rakyat dan cita-cita kemerdekaan, menciptakan narasi yang mencerminkan harapan dan tantangan yang dihadapi bangsa.
Pemerintah Republik Indonesia berperan aktif dalam membangun dan membentuk industri film nasional. Sejumlah kebijakan dikeluarkan untuk mendukung para sineas lokal, termasuk pendanaan dan penyelenggaraan festival film.
Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produksi film agar dapat bersaing dengan film asing.
Dalam masa ini, film-film mulai menitikberatkan tema-tema sosial dan politik, mencerminkan realitas kehidupan sehari-hari masyarakat dan tantangan yang dihadapi setelah kemerdekaan.
Penting juga untuk dicatat bahwa film dokumenter mengambil peran krusial pada periode ini. Melalui dokumentasi keadaan masyarakat, film dokumenter tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana informasi dan pendidikan.
Sineas mulai mengembangkan gaya bercerita yang lebih kompleks, dengan penekanan pada realisme dan narasi yang kuat.
Karya-karya semacam ini sering kali menggambarkan isu-isu penting, seperti ketidakadilan sosial, gerakan politik, dan dinamika budaya yang berkembang di tengah masyarakat yang baru merdeka.
Munculnya pembuat film dan penulis skenario yang berpengalaman juga memberikan kontribusi besar dalam menjaga kualitas dan relevansi film Indonesia.
Melalui eksplorasi tema yang lebih mendalam, mereka berhasil menghasilkan film yang tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan sosial yang penting.
Perkembangan ini menandai awal dari sinema nasional yang semakin matang dan dapat menjadi cerminan semangat dan nilai-nilai bangsa.
Era Orde Baru dan Globalisasi Film (1966-1990)
Era Orde Baru di Indonesia, yang dimulai setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno pada tahun 1966, membawa dampak besar bagi industri film di tanah air.
Selama periode ini, pemerintah di bawah kepemimpinan Soeharto mengontrol banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk seni dan budaya.
Kebijakan politik yang ketat menciptakan iklim di mana film harus mematuhi pedoman tertentu untuk mendapatkan izin tayang. Film yang dianggap kontroversial atau tidak sejalan dengan ideologi pemerintah sering kali ditolak atau dibredel.
Pengaruh pemerintah ini tidak hanya mengubah tema dan narasi dalam film, tetapi juga membatasi ruang ekspresi bagi para sineas.
Di tengah perubahan sosial politik ini, globalisasi mulai memengaruhi industri film. Masuknya film asing dengan beragam genre memperkaya wawasan penonton, namun juga memberikan tantangan bagi film lokal.
Film barat dan produksi dari negara-negara Asia lainnya secara perlahan mulai mengambil alih layar bioskop, memaksa sineas Indonesia untuk beradaptasi.
Mereka harus memberikan inovasi dalam produksi, baik dari segi teknik maupun cerita, agar tetap relevan dan menarik bagi masyarakat.
Munculnya budaya konsumsi film asing ini menekan produksi film lokal sehingga banyak karya yang terpaksa tidak mendapatkan dukungan yang memadai.
Di akhir periode Orde Baru, terjadi penurunan yang signifikan dalam jumlah produksi film. Imbasnya, banyak rumah produksi yang terpuruk dan kehilangan relevansi.
Namun, lesunya industri film ini juga memicu kebangkitan sinema independen. Para sineas independen mulai berani bereksperimen dengan cerita dan teknik yang tidak terikat pada regulasi pemerintah yang ketat.
Gerakan ini menjadi penting untuk menjaga keberagaman cerita dan untuk mempersembahkan suara yang berbeda dalam cinema Indonesia.
Selain itu, perhatian terhadap preservasi film sebagai bagian dari warisan budaya semakin diangkat, dengan upaya untuk mengarsipkan karya-karya yang berharga bagi generasi mendatang.(*)