SastraNusa – Deretan huruf Jawa itu dulu akrab di dinding-dinding sekolah. Honocoroko, sebuah aksara penuh filosofi, menjadi bagian dari cerita panjang masyarakat Jawa.
Namun, di era digital seperti sekarang, huruf-huruf itu semakin samar di ingatan banyak orang.
Kalau boleh menarasikan, begini, di satu sudut kota kecil, seorang pemuda memegang secarik kertas dengan wajah bingung.
Di kertas itu, terpampang huruf-huruf Jawa yang sulit ia pahami.
“Belajar Honocoroko tidak semudah dulu,” ungkapnya lirih, seakan huruf itu baginya adalah teka-teki kuno.
Lantas, mengapa Honocoroko kian terpinggirkan? Bukankah aksara ini dulu menjadi kebanggaan budaya Jawa? Dan, apakah belajar Dotosowolo—pengucapan dan penulisan huruf Jawa—benar-benar sulit?
Keterdesakan Aksara Jawa oleh Modernisasi
Aksara Latin kini menguasai semua aspek kehidupan. Teknologi, komunikasi, hingga pendidikan lebih banyak berlandaskan tulisan Latin.
Honocoroko, yang dulu merajai naskah-naskah kerajaan dan sastra Jawa, kini hanya menjadi hiasan estetika di beberapa papan nama atau cendera mata.
Bahasa Latin lebih praktis dan fleksibel. Di tengah arus globalisasi, orang cenderung mencari yang sederhana dan mudah digunakan.
Mirisnya, Honocoroko dianggap rumit karena struktur dan aturan Dotosowolo yang tidak semua orang pahami.
Tidak hanya itu, media pembelajaran aksara Jawa juga semakin jarang ditemui. Seolah-olah generasi muda kehilangan akses untuk mengenal dan memahami aksara ini. Sehingga tanpa upaya pelestarian yang masif, eksistensi Honocoroko semakin tergeser.
Kesulitan Belajar Dotosowolo
Belajar Dotosowolo bukan hanya soal menulis huruf-huruf Jawa. Melainkan, ada aturan yang harus dikuasai, mulai dari bentuk dasar aksara, pasangan, hingga sandhangan. Kombinasi ini kerap membuat pemula merasa kesulitan.
Seorang guru bahasa Jawa bercerita tentang tantangan yang dihadapinya kepada penulis.
Yakni “Anak-anak lebih mudah memahami alfabet Latin karena lebih sering digunakan. Sementara Honocoroko membutuhkan latihan rutin untuk benar-benar dikuasai. “
Tidak hanya itu, penulisan aksara Jawa di perangkat digital juga menjadi hambatan. Keyboard dan teknologi modern belum sepenuhnya mendukung aksara ini. Hal tersebut tambah membuat penggunaannya semakin berkurang.
Pelajaran Bahasa Jawa di Sekolah yang Kian Terpinggirkan
Di sebagian sekolah, pelajaran bahasa Jawa masih masuk dalam kurikulum. Namun, porsinya jauh lebih kecil dibandingkan mata pelajaran lain. Dari itu bisa dikatakan, jika fokus pembelajaran hari ini, lebih sering menitikberatkan pada bahasa, dan jelan bukan memberat ke aksara.
Bahkan saat ini, banyak siswa yang hanya mengenal Honocoroko sebatas hafalan. Tanpa praktik menulis atau membaca, aksara ini tidak akan membekas dalam ingatan.
Padahal, keterampilan Dotosowolo memerlukan kesabaran dan latihan berkelanjutan.
Jadi tidak salah apabila ada beberapa guru yang cintah Indonesia dan budaya menyayangkan kondisi ini. Dia menuturkan “Kalau tidak dilestarikan sekarang, aksara Jawa hanya akan menjadi kenangan.”
Upaya Pelestarian Honocoroko
Di tengah keterpurukan Honocoroko, masih ada segelintir pihak yang peduli. Yakni komunitas pecinta aksara Jawa mulai bermunculan, membawa misi melestarikan kekayaan budaya ini.
Beberapa seniman juga menggunakan aksara Jawa dalam karya mereka. Lukisan, batik, hingga desain grafis sering kali memadukan Honocoroko sebagai simbol identitas Jawa.
Langkah kecil ini setidaknya memberikan nafas baru bagi aksara yang hampir dilupakan.
Seharusnya di dunia pendidikan, program revitalisasi Honocoroko mulai digalakkan.
Sekolah-sekolah wajib memperkenalkan aksara Jawa sebagai bagian dari warisan budaya. Upaya ini menjadi harapan di tengah arus modernisasi.
Menyadarkan Generasi Muda Akan Pentingnya Honocoroko
Solusinya tidak lain dan tidak bukan hanya ada di generasi muda. Mereka menjadi kunci utama pelestarian aksara Jawa.
Tanpa minat dan kepedulian dari mereka, upaya pelestarian yang bakal direncanakan akan sia-sia. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih kreatif dibutuhkan untuk mengenalkan Honocoroko kepada generasi gen Z ini.
Kemudian juga, penggunaan teknologi menjadi salah satu solusi. Aplikasi belajar aksara Jawa harus mulai dikembangkan. Kerena dengan itu, siapa saja akan gampang saat hendak belajar Dotosowolo.
Oh ya, selain dari beberapa solusi yang disebutkan di atas, tampaknya konten terkait Honocoroko harus dimasukkan. Pasalnya konten kreatif di media sosial bisa menjadi jembatan efektif untuk menarik perhatian generasi muda.
Hal itu, agar sesuai dengan ujaran seorang pegiat budaya jawa timur yang enggan disebut namanya, yakni, “Aksara Jawa adalah identitas. Kehilangannya sama dengan kehilangan sebagian dari jati diri kita.”
Kata-kata tentu bisa menggugah kesadaran kita, bahwa pelestarian Honocoroko bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan tugas bersama.
Menemukan Keseimbangan di Era Modern
Di sisi aksara Latin yang memang mendominasi, namun bukan berarti Honocoroko harus ditinggalkan, bukan! Artinya, mencari keseimbangan antara penggunaan bahasa modern dan pelestarian bahasa tradisi adalah kunci agar aksara ini tetap hidup.
Sementara Honocoroko bukan sekadar simbol tulisan. Di balik setiap huruf, ada cerita panjang peradaban Jawa yang penuh makna. Maka menjaganya berarti menjaga kebudayaan agar tetap dikenal oleh generasi mendatang.
Sebagai warisan leluhur, Honocoroko patut mendapat tempat di era modern. Begini, belajar Dotosowolo memang membutuhkan usaha lebih, tetapi bukan hal yang mustahil.
Dengan pendekatan yang tepat, aksara Jawa bisa kembali dekat di hati masyarakat.
Perlu digaris bawahi, bahwa, Honocoroko adalah simbol kebanggaan. Mari biarkan aksara ini terus berbicara di tengah hiruk-pikuk modernisasi ini. Hak itu sebagai pengingat, bahwa identitas budaya layak untuk dijaga.(*)