Teori ini mengemukakan bahwa ketakutan terhadap hantu bisa jadi merupakan residu dari naluri bertahan hidup purba ini. Dalam konteks modern, meskipun ancaman yang dihadapi masyarakat berbeda, rasa takut tersebut tetap eksis dan relevan karena otak kita masih memiliki mekanisme waspada alami yang sama.
Selain itu, otak manusia memiliki kecenderungan untuk melihat pola yang tidak benar-benar ada, fenomena yang dikenal sebagai pareidolia.
Fenomena ini memungkinkan otak kita mengenali wajah atau sosok di dalam bayangan atau objek acak, yang bisa memicu perasaan seram atau takut jika otak kita mengasosiasikannya dengan hantu.
Satu argumen kritis lainnya mengapa ketakutan ini masih ada di masyarakat modern adalah pengaruh budaya dan media. Representasi hantu dalam film, literatur, dan berbagai bentuk media lainnya bisa memperkuat dan menyebarkan rasa takut ini di antara masyarakat.
Informasi mengenai hantu yang terus-menerus diperlihatkan melalui berbagai media bisa memengaruhi persepsi individu, sehingga perasaan takut tersebut tetap hidup dan berkembang.
Pada akhirnya, ketakutan terhadap hantu tampaknya menjadi kombinasi dari warisan evolusi, cara kerja otak manusia, dan pengaruh budaya. Semua ini berperan dalam mempertahankan relevansi rasa takut tersebut dalam masyarakat modern, meskipun konteks ancaman dan lingkungan sudah banyak berubah.
Pengaruh Budaya dan Media terhadap Persepsi Hantu
Budaya dan media memiliki peran signifikan dalam membentuk persepsi dan ketakutan terhadap hantu. Ketakutan yang mendalam terhadap hal-hal gaib sering kali diperkuat oleh stereotip budaya dan narasi media yang intens.
Film, acara TV, dan literatur kerap mengeksploitasi ketakutan ini dengan menggambarkan hantu sebagai entitas yang menakutkan dan berbahaya.
Misalnya, film horor klasik seperti “Poltergeist” dan “The Exorcist” menggunakan visual yang menakutkan serta narasi yang mengerikan untuk memicu ketakutan mendalam di kalangan penonton.
Literatur dari berbagai budaya juga berkontribusi pada ketakutan ini. Cerita rakyat di Jepang tentang “Yūrei” atau hantu wanita berambut panjang dengan baju putih berlumuran darah, telah menjadi inspirasi bagi banyak film dan acara TV.
Cerita-cerita ini mengakar kuat di masyarakat dan membentuk persepsi bahwa hantu adalah makhluk yang penuh dendam dan berpotensi mencelakakan manusia.
Di Indonesia, kisah-kisah tentang hantu seperti “Kuntilanak” atau “Pocong” sering disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya, menciptakan ketakutan yang diwariskan dan sulit dilepaskan.
Peran media dalam memperkuat ketakutan ini tak bisa diabaikan. Acara TV seperti “Ghost Adventures” dan “Most Haunted” mengajak penonton untuk menyaksikan investigasi di tempat-tempat berhantu, sering kali menggunakan efek suara dan visual untuk menambah elemen ketakutan.
Konten-konten ini tak hanya membuat ketakutan akan hantu semakin akut, tetapi juga membuatnya tampak lebih nyata di mata masyarakat.
Namun, paparan konsep-konsep gaib ini juga dapat mengurangi ketakutan tergantung pada konteks penyampaiannya. Misalnya, film-film yang mendekati tema hantu dengan humor seperti “Ghostbusters” atau “Scary Movie” cenderung meredakan ketakutan dengan cara yang menghibur.
Di sisi lain, media yang memberikan perspektif ilmiah atau rasional tentang fenomena mistis bisa membantu mengurangi ketakutan akan hal-hal gaib dengan memberikan penjelasan yang masuk akal.
Secara pribadi, paparan terhadap beragam media dan tradisi budaya terkait hantu telah membentuk persepsi saya tentang hal-hal gaib. Meskipun sedikit rasa takut mungkin tetap ada, menawarkan berbagai narasi membantu saya melihat bahwa ketakutan terhadap hantu tidak selalu berakar pada kenyataan.
Melainkan pada narasi yang kita terima dan internalisasikan. Dengan memahami ini, kita bisa belajar untuk memegang kendali atas ketakutan kita terhadap hal-hal yang tak terlihat.(*)