SastraNusa – Bayangkan seorang perempuan yang berdiri tegak di tengah arus kekuasaan. Tentu dia bukan sekadar simbol, melainkan perlawanan itu sendiri. Di tangan Ayu Utami, perempuan dalam novel Saman dan Larung menjadi gambaran perlawanan yang diam-diam namun berdentum, layaknya gelombang ombak yang tak pernah berhenti menghantam karang.
Di setiap halaman, sosok perempuan dihadirkan tak hanya sebagai korban, tapi sebagai pelawan, yang dengan caranya sendiri berusaha menembus batas-batas yang membelenggu.
Perempuan dalam Hegemoni dan Cengkeraman Tradisi
Di Indonesia, perempuan selalu berada di antara dua kutub, yakni, tradisi dan modernitas. Bagi mereka, keduanya menjadi penjara yang sama-sama membatasi ruang gerak.
Dalam Saman, perempuan muncul dengan cengkeraman tradisi yang masih kental. Peran mereka sudah ditentukan sejak lahir.
Lingkungan, keluarga, dan masyarakat seakan memiliki hak atas tubuh dan pikiran mereka. Kebebasan adalah kemewahan, hanya dimiliki mereka yang berani dan nekat mengambil risiko.
Namun, di balik semua itu, ada perlawanan yang tak ketara, yang hanya terlihat bila kita mau melihat lebih dalam. Perlawanan ini bukan dengan bendera atau teriakan.
Mereka melawan dengan cara hidupnya, dengan pilihan-pilihan yang sesuai, meski kecil, namun bentuk pengabaian terhadap kekuatan yang mengatur hidup mereka. Mereka memilih jalan yang mungkin tidak masuk akal bagi banyak orang, tapi bagi mereka itulah kemerdekaan.
Dari Ruang Tersembunyi Menuju Ruang Terbuka
Larung, novel yang menjadi kelanjutan Saman, yakni mengangkat evolusi perlawanan perempuan. Di sini, perempuan sudah mulai berani menampilkan perlawanan mereka ke ruang terbuka.
Larung menjadi medium bagi perempuan untuk berbicara, yaitu untuk menolak dan menentang. Jika sebelumnya hanya terkungkung di ruang pribadi, sekarang mereka tak segan mengangkat suara, mengubah bisik menjadi pekik yang bergema.
Perempuan-perempuan dalam Larung tak lagi terbungkam. Mereka menantang norma, berdiri di garis depan untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kendali atas hidupnya sendiri.
Mereka memilih untuk keluar dari bayang-bayang dan menjadikan tubuh mereka sendiri sebagai alat perlawanan. Keberanian ini adalah bentuk protes terhadap hegemoni yang selama ini menempatkan perempuan di posisi submisif.
Simbol Tubuh sebagai Perlawanan
Sedangkan tubuh, adalah medium pertama perempuan untuk meraih kebebasan. Di masyarakat yang sering kali mengontrol perempuan melalui tubuh mereka, perempuan justru mengubahnya menjadi simbol perlawanan.
Dalam Saman, tubuh perempuan tak lagi menjadi milik laki-laki atau masyarakat. Mereka menempatkan tubuhnya sebagai wilayah yang sepenuhnya mereka kuasai, yang bisa mereka kendalikan sesuai kehendak mereka sendiri.
Tubuh bukan sekadar alat reproduksi atau objek yang tunduk pada keinginan patriarki. Bagi perempuan dalam novel ini, tubuh adalah wujud pemberontakan yang sunyi namun lantang.
Tentu hal ini, menjadi cara perempuan berkata bahwa mereka bukan sekadar peran dalam rumah tangga, tapi manusia seutuhnya dengan mimpi dan kehendak.
Artinya, lewat kontrol atas tubuhnya, perempuan mengklaim kembali hak yang selama ini dicabut.
Perubahan Makna dari Dalam ke Luar
Satu hal yang paling menarik adalah evolusi makna perlawanan perempuan dari dalam ke luar. Jika dalam Saman perempuan melawan dengan cara yang lebih personal, di Larung mereka menunjukkan bahwa perlawanan perempuan bisa menjangkau ruang publik.
Mereka tidak hanya memprotes kekuasaan dalam ruang domestik, tetapi juga menggerakkan massa untuk menunjukkan kekuatan kolektif.
Inilah perjalanan perempuan dalam Saman dan Larung. Perjalanan ini, dari perlawanan yang tersembunyi, hingga menemukan cara untuk menjadikan diri mereka simbol yang lantang di tengah masyarakat.
Bukan sekadar pribadi, tapi menjadi agen perubahan bagi sesamanya. Perlawanan ini tidak selalu mudah, tetapi mereka tetap maju, bahkan ketika risiko kehilangan segalanya ada di depan mata.
Kesadaran Kolektif sebagai Kekuatan Perempuan
Seiring waktu, perlawanan perempuan bertransformasi menjadi kesadaran kolektif. Mereka menemukan bahwa kekuatan terbesar terletak pada kebersamaan.
Dalam Larung, perempuan saling mendukung, menyadari bahwa perjuangan mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk perempuan lain di luar sana yang juga terkekang oleh norma dan aturan yang sama.
Kesadaran kolektif ini menjadi simbol kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Ketika perempuan menyadari bahwa mereka tidak sendiri, mereka akan lebih berani untuk mengambil langkah besar.
Mereka saling menguatkan, saling menjaga agar tidak ada yang jatuh. Kesadaran ini bukan hanya bentuk empati, tapi juga strategi agar perlawanan mereka memiliki dampak lebih besar.
Keberanian Perempuan untuk Merdeka
Dari Saman ke Larung, tentu bisa dilihat keberanian perempuan yang terus tumbuh. Mereka tak lagi takut, tak lagi ragu untuk mengejar kebebasan.
Mereka berdiri dengan kepala tegak, menantang dunia yang dulu membatasi. Dalam ranahbini, hegemoni bukan lagi hal yang mereka takuti, melainkan sesuatu yang mereka hancurkan dengan keberanian.
Ini bukan hanya tentang kebebasan individual, tapi juga hak untuk hidup sesuai kehendak hati. Dari buku-buku Ayu Utami, tentu Seorang pembaca bisa belajar, bahwa perlawanan perempuan itu nyata.
Mereka bukan sekadar tokoh fiksi, tetapi inspirasi bagi perempuan di dunia nyata untuk terus berjuang.(*)