Budaya Pemalu, Cermin Kehidupan yang Sederhana dan Harmonis

Ahmad Masrufi By Ahmad Masrufi
8 Min Read
woman in black long sleeve shirt covering her face
Budaya Pemalu, Cermin Kehidupan yang Sederhana dan Harmonis (Ilustrasi)
- Advertisement -

Tingkatan ngoko, yang digunakan antar sahabat atau orang yang lebih muda, memberikan ruang bagi keakraban. Namun, dalam situasi yang memerlukan kesopanan, pemilihannya dihindari oleh individu yang mengedepankan rasa malu dan penghormatan.

Sebaliknya, krama dan krama inggil—yang masing-masing diperuntukkan bagi situasi formal dan orang yang lebih tua atau dihormati—menjadi simbol dari rasa hormat serta kesediaan untuk menjaga batasan sosial.

Penggunaan bahasa ini menggambarkan sifat pemalu yang terkadang terinternalisasi dalam diri individu, di mana mereka berusaha menjaga perilaku sopan dan penuh tata krama dalam setiap interaksi.

Pentingnya penggunaan bahasa Jawa dalam memperkuat karakteristik pemalu ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

- Advertisement -

Contohnya, ketika berkomunikasi dengan orang tua atau sang guru, seseorang akan lebih cenderung menggunakan krama.

Ini membentuk ruang yang aman bagi mereka untuk mengekspresikan diri, sekaligus menunjukkan penghargaan terhadap posisi orang lain dalam struktur sosial.

Dalam setiap percakapan, pilihan bahasa ini menekankan norma bahwa sikap yang sopan dan pemalu bukanlah tanda kelemahan, tetapi sebaliknya, merupakan cerminan dari ketulusan dan penghormatan terhadap orang lain.

Dengan demikian, bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk menunjukkan serta memperkuat sifat pemalu yang dihargai dalam masyarakat Jawa.

Melalui pilihan bahasa, individu dapat menunjukkan posisi sosial dan tingkat kehormatan, serta mengekspresikan rasa malu dengan cara yang begitu halus, namun mendalam.

- Advertisement -

Perubahan Budaya dan Kritik terhadap Budaya Pemalu

Perubahan budaya di masyarakat Jawa tidak terlepas dari pengaruh zaman dan globalisasi yang semakin meluas.

Dalam beberapa dekade terakhir, interaksi dengan budaya luar telah mulai menggoyahkan nilai-nilai tradisional, termasuk sikap pemalu yang dikenal luas di kalangan orang Jawa.

Budaya pemalu, yang telah lama dianggap sebagai cerminan kesopanan dan tata krama, kini menghadapi tantangan ketika generasi muda berusaha menyesuaikan diri dengan tuntutan dunia yang lebih terbuka dan terkoneksi.

- Advertisement -

Sikap pemalu sering kali dikaitkan dengan norma-norma sosial yang menghargai kerendahan hati dan pengendalian diri. Namun, dalam konteks kehidupan modern, sifat ini dianggap menghambat individu untuk mengekspresikan diri secara bebas.

Kritik terhadap budaya pemalu ini muncul tidak hanya dari pengamat eksternal tetapi juga dari dalam masyarakat itu sendiri. Sebagian orang berpendapat bahwa terlalu banyak menahan diri dapat berakibat pada hilangnya kreativitas dan inovasi.

Misalnya, para profesional dan pelaku bisnis mungkin merasa terhambat untuk mengemukakan ide-ide baru atau menghadiri acara networking yang penting untuk pengembangan karier.

Walaupun begitu, penting untuk tidak mengabaikan nilai-nilai positif yang terkandung dalam budaya pemalu. Menjaga sopan santun dan menghormati orang lain merupakan aspek penting dalam setiap interaksi sosial.

Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas.

Perubahan yang terjadi dalam masyarakat Jawa saat ini menunjukkan adanya ajakan untuk tidak sepenuhnya meninggalkan budaya pemalu, melainkan untuk mengadaptasi dan memodernisasi cara pandang terhadap ekspresi diri.

Dengan ini, individu dapat dipacu untuk menjadi lebih berani sekaligus tetap menghormati norma-norma sosial yang ada.(*)

Editor : Sholihul Huda

- Advertisement -
Share This Article