SastraNusa – Dusun Kaliagung, Desa Tiremegal, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, di balik kesederhanaan hidup di dusun ini tersimpan sebuah tradisi penuh makna yang hingga kini masih lestari, dikenal dengan nama “bancaan.”
Dalam budaya setempat, bancaan bukan sekadar acara syukuran biasa, melainkan wadah yang mempertemukan masyarakat dari berbagai latar belakang untuk berkumpul, berbagi, dan saling memperkuat ikatan batin.
Tentunya tradisi yang telah dijalankan sejak dulu ini masih bertahan, seakan menjadi pengikat dalam tatanan sosial yang kian mengglobal.
Momen bancaan dimulai ketika seseorang hendak merayakan rasa syukur, entah atas rezeki baru, kelahiran, atau sekadar tanda terima kasih kepada semesta.
Menariknya, undangan untuk bancaan disampaikan dengan cara unik yang menggambarkan kerendahan hati serta keterbukaan masyarakat Kaliagung.
Orang yang ingin menggelar bancaan tak perlu memanfaatkan teknologi canggih atau alat komunikasi modern. Mereka cukup berjalan kaki dari satu rumah ke rumah lainnya dalam satu RT, mengundang dengan suara lantang dan penuh keramahan.
Bagi Rahayu, salah satu warga Dusun Kaliagung, cara sederhana ini menunjukkan bahwa bancaan adalah kesempatan berharga untuk menyatu dan berbagi dalam kehidupan sehari-hari.
“Ini bukan hanya soal tasyakuran. Bancaan adalah waktu di mana kami saling bertemu, berbagi, dan menjaga persatuan yang ada sejak dulu,” ungkap Rahayu.
Lewat bancaan, dusun ini menjalin solidaritas dengan metode yang berbeda, namun tetap berlandaskan nilai-nilai sosialisme yang kuat.
Menu Sederhana, Makna yang Dalam
Hidangan yang disajikan dalam bancaan mungkin terlihat sederhana di mata orang luar. Urapan, ikan asin, telur, dan nasi menjadi menu utama yang secara turun-temurun dipilih untuk acara ini.
Namun, setiap elemen hidangan ini memiliki simbol tersendiri yang mencerminkan karakter hidup masyarakat Kaliagung yang bersahaja namun penuh rasa syukur.
Bagi warga di sana, tidak ada tuntutan untuk membawa makanan mewah atau menyajikan beragam menu.
Kesederhanaan dalam bancaan menjadi tanda bahwa acara ini dilandasi oleh niat tulus dan keterbukaan, tanpa tekanan sosial maupun ekspektasi.
Rahayu mengakui bahwa dalam tradisi bancaan, tidak ada yang berpikir untuk menonjolkan diri atau merasa lebih dari yang lain.
“Semua orang datang dengan hati terbuka, menikmati apa yang disediakan dengan rasa syukur dan tanpa mengharapkan lebih. Inilah yang membuat bancaan tetap hidup di tengah masyarakat kami,” katanya.
Hidangan yang dihidangkan mungkin sederhana, tetapi kehadiran setiap orang membawa suasana yang hangat dan membuat tradisi ini kian berarti.
Pengganti Teknologi dalam Komunikasi Sosial
Di zaman yang dipenuhi dengan teknologi ini, bancaan memiliki cara tersendiri untuk memelihara komunikasi yang tidak tergantikan.
Acara ini menjadi ruang yang memungkinkan orang untuk bertukar kabar, berbagi cerita, dan mempererat ikatan secara langsung.
Bagi warga Kaliagung, bancaan adalah sarana untuk saling mengenal, menjaga keakraban, dan menghapus batasan yang terkadang muncul akibat kehidupan modern.
Rahayu menjelaskan bagaimana tradisi bancaan mengisi kekosongan yang mungkin tidak bisa digantikan oleh media sosial atau perangkat komunikasi lainnya.
“Di bancaan, kamu bukan cuma sekadar makan bersama. Kamu akan berbagi cerita, saling mendengarkan, dan merasa terhubung dengan orang lain secara nyata,” katanya.
Tradisi ini seolah menjadi napas sosial yang memberi energi baru kepada masyarakat, menjadi alat penting untuk memelihara kebersamaan yang di era ini terasa semakin langka.
Bancaan sebagai Manifestasi Sosialisme Lokal
Budaya bancaan di Dusun Kaliagung bisa dilihat sebagai manifestasi nilai-nilai sosialisme dalam wujud yang sederhana namun mendalam.
Bancaan menciptakan kesetaraan dan kebersamaan yang nyata, yakni tidak ada perbedaan perlakuan antara yang kaya dan yang kurang beruntung.
Semua orang duduk dalam lingkaran yang sama, berbagi makanan dengan perasaan yang sama, tanpa perlu membandingkan status sosial atau materi.
Nilai kesetaraan ini membuat acara bancaan menjadi lebih dari sekadar syukuran biasa, tetapi juga sebagai ajang di mana setiap individu merasa diterima dan dihargai tanpa memandang perbedaan.
Bancaan pun menjadi pengingat bahwa kebahagiaan bisa dibagi tanpa melihat perbedaan ekonomi atau status. Di Kaliagung, orang-orang berkumpul dengan satu tujuan, untuk merayakan hidup dalam kebersamaan.
“Di bancaan, semua orang adalah saudara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah,” jelas Rahayu.
Bagi warga dusun ini, bancaan adalah bentuk nyata dari perlawanan terhadap sikap individualisme yang semakin merajalela, menawarkan solusi dari pola hidup yang menekankan kepentingan bersama.
Menguatkan Solidaritas Sosial dan Keterikatan
Tradisi bancaan juga berfungsi sebagai perekat sosial, menjadi ruang di mana warga bisa mengekspresikan rasa empati dan solidaritas terhadap satu sama lain.
Di dusun ini, gotong royong sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Apabila ada warga yang mengalami kesulitan atau membutuhkan bantuan, warga lain akan berusaha saling mendukung tanpa pamrih.
Tradisi ini mengajarkan pentingnya kebersamaan dan solidaritas yang mungkin tidak bisa ditemui dalam kehidupan kota yang serba cepat dan individualis.
Rahayu menegaskan bagaimana nilai solidaritas ini menjadi jiwa dalam tradisi bancaan. “Saat ada warga yang sedang menghadapi kesulitan, kamu akan melihat bahwa kami semua siap membantu dengan sepenuh hati,” katanya.
Tradisi bancaan ini seakan menjadi simbol komitmen masyarakat untuk selalu hadir dalam suka maupun duka, saling mendukung tanpa harus diminta.
Bancaan, Warisan Nilai Gotong Royong yang Bertahan
Melalui tradisi bancaan, warga Dusun Kaliagung mempertahankan nilai-nilai luhur gotong royong yang mungkin telah memudar di tempat lain.
Budaya ini bukan hanya bertujuan untuk merayakan syukur, tetapi juga untuk menjaga semangat kepedulian yang nyata di antara warga.
Dalam setiap pelaksanaannya, bancaan memberikan kesempatan bagi warga untuk melupakan sejenak hiruk-pikuk dunia luar dan merayakan momen kebersamaan yang tulus.
Tradisi ini juga menegaskan bahwa semangat gotong royong di dusun tersebut tidak hanya sekadar konsep, tetapi benar-benar diwujudkan dalam setiap tindakan.
Bancaan menjadi simbol perlawanan terhadap individualisme, sekaligus ajang untuk memperkuat rasa keterikatan yang lebih dalam.
“Kami menjalankan bancaan bukan hanya karena tradisi, tetapi karena ini adalah bagian dari jati diri kami sebagai masyarakat,” ujar Rahayu.
Di tengah dunia yang semakin modern dan individualis, bancaan tetap menjadi pondasi yang mengingatkan warga Dusun Kaliagung untuk selalu peduli dan berbagi.
Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi juga warisan yang terus diturunkan sebagai bagian dari identitas masyarakat.(*)