SastraNusa – Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cerminan identitas dan kepribadian seseorang. Di antara santri dan siswa, bahasa menjadi medium yang tak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai simbol jati diri.
Kehidupan di pesantren dan sekolah umum memberi pengaruh berbeda terhadap cara mereka berbahasa, baik dalam aspek leksikal maupun pragmatik. Perbedaan ini membentuk karakter unik yang sering kali terlihat dalam keseharian mereka, mencerminkan dunia yang penuh nilai tradisi atau kebebasan modern.
Pada dasarnya, santri dan siswa adalah bagian dari generasi muda yang terlibat dalam dunia pendidikan. Namun, lingkungan mereka sangatlah berbeda.
Santri hidup dalam disiplin yang ketat, lingkungan religius, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di dalam pesantren. Sementara itu, siswa yang bersekolah di lembaga pendidikan umum lebih terbuka terhadap budaya modern, tren populer, dan sering kali lebih ekspresif dalam cara mereka berkomunikasi.
Artikel ini akan mengungkap lebih dalam perbedaan leksikal dan pragmatik antara santri dan siswa, dengan mengulas konteks, kebiasaan berbahasa, hingga pengaruh budaya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Perbedaan Leksikal antara Santri dan Siswa
Santri memiliki gaya bahasa yang sangat khas, terutama karena pengaruh kitab-kitab klasik yang mereka pelajari sejak dini.
Bahasa Arab menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka, mulai dari istilah-istilah yang sering digunakan dalam percakapan hingga doa-doa yang mereka lantunkan setiap hari.
Misalnya, kata-kata seperti ana (saya) dan ente (kamu) umum digunakan oleh santri dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, ungkapan seperti insya Allah, barakallah, atau jazakallah menjadi bentuk ekspresi yang akrab di telinga mereka.
Istilah ini bukan hanya sekadar kata, melainikan, setiap ucapan membawa nilai-nilai moral dan adab yang harus dijaga.
Siswa, di sisi lain, lebih terpapar pada bahasa yang berkembang secara cepat, terutama yang terpengaruh oleh media sosial dan budaya pop.
Bahasa gaul, singkatan-singkatan modern, serta kata serapan dari bahasa asing sering menjadi bagian dari keseharian mereka.
Contoh sederhana adalah penggunaan kata-kata seperti “santuy” yang berarti santai atau “goks” sebagai ungkapan kekaguman.
Penggunaan bahasa siswa lebih fleksibel dan dinamis, mencerminkan keterbukaan terhadap tren yang sedang populer.
Mereka bebas menyerap kosakata baru dan bahkan menciptakan bahasa slang yang mungkin asing di lingkungan pesantren.
Nuansa Pragmatik dalam Kehidupan Santri dan Siswa
Selain perbedaan leksikal, aspek pragmatik juga memainkan peran penting dalam membedakan cara santri dan siswa berkomunikasi.
Santri diajarkan untuk berbicara dengan santun, penuh tata krama, dan selalu mengedepankan adab dalam berbahasa.
Setiap ucapan yang keluar dari mulut santri biasanya diiringi dengan doa atau harapan yang baik.
Mereka jarang menggunakan nada bicara yang keras atau istilah kasar dalam percakapan sehari-hari.
Bahkan, ketika menyapa orang lain, santri sering kali menambahkan kata-kata penghormatan seperti “saudaraku” atau “ustadz” kepada teman atau pengajar.
Berbeda dengan santri, siswa cenderung lebih ekspresif dan spontan dalam cara berbicara. Nada bicara siswa lebih santai dan kadang disertai dengan humor atau candaan.
Dalam percakapan sehari-hari, siswa merasa bebas mengekspresikan pendapat atau perasaannya tanpa merasa terbatas oleh norma-norma ketat.
Mereka bisa saja menggunakan istilah seperti “bro” atau “sis” sebagai panggilan akrab kepada teman-teman mereka.
Gaya komunikasi siswa cenderung mencerminkan karakter yang lebih dinamis, sesuai dengan budaya pop yang mereka gemari.
Pengaruh Lingkungan terhadap Perbedaan Bahasa
Lingkungan memberikan pengaruh besar terhadap cara santri dan siswa berbahasa. Di pesantren, santri dibiasakan hidup dengan disiplin dan nilai-nilai agama yang kuat.
Setiap aktivitas, mulai dari belajar hingga berkomunikasi, selalu diarahkan pada pembentukan pribadi yang berakhlak mulia.
Dalam hal ini, bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sebagai sarana untuk menjaga etika dan sopan santun.
Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa Arab dan ungkapan religius menjadi cerminan identitas mereka sebagai santri.
Di sisi lain, siswa yang berada di sekolah umum sering kali berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai latar belakang budaya.
Lingkungan sekolah umum biasanya lebih inklusif dan terbuka terhadap perkembangan tren, sehingga siswa memiliki kebebasan untuk berekspresi dan menyerap gaya bahasa yang sedang populer.
Mereka terbiasa menggunakan bahasa yang mencerminkan keberagaman, serta merasa nyaman untuk bereksperimen dengan kosakata baru yang muncul dari media sosial atau internet.
Implikasi Sosial dari Perbedaan Bahasa antara Santri dan Siswa
Perbedaan bahasa antara santri dan siswa tidak hanya mencerminkan identitas mereka, tetapi juga memengaruhi cara pandang mereka terhadap dunia.
Bagi santri, bahasa adalah refleksi dari nilai-nilai spiritual yang mereka pelajari setiap hari. Penggunaan bahasa yang penuh adab menjadi cara mereka untuk menunjukkan penghormatan kepada orang lain dan menghindari perbuatan yang dapat melukai perasaan.
Sikap hati-hati dalam berbahasa ini membuat santri lebih terkontrol dan memiliki pemahaman yang dalam mengenai tata krama.
Siswa, dengan cara berbahasa yang lebih bebas, cenderung memiliki pandangan yang lebih progresif dan terbuka terhadap perubahan.
Mereka tidak terikat oleh aturan atau norma tertentu dalam berkomunikasi, sehingga gaya bahasa mereka lebih adaptif terhadap lingkungan modern yang terus berubah.
Siswa sering kali memandang bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan kepribadian dan kreativitas mereka.
Hal ini membuat mereka lebih fleksibel dalam menghadapi tantangan sosial dan budaya yang ada di lingkungan mereka.