SastraNusa-Di sudut pasar tradisional, di antara keramaian dan hiruk-pikuk pedagang, suara khas kentrung mengalun lembut. Dikenal sebagai seni tutur yang mendalam, kentrung adalah bentuk pertunjukan yang menarasikan kisah-kisah melalui dialog, musik, dan gerakan.
Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi, muncul pertanyaan yang menggelitik: Apakah seni kentrung masih dapat berdiri kokoh, atau justru terancam punah oleh perkembangan zaman?
Akar Kentrung: Sebuah Tradisi yang Hidup
Kentrung berasal dari budaya Jawa dan merupakan bentuk cerita lisan yang telah ada sejak berabad-abad lalu. Menurut Dr. Joko Suyono, seorang akademisi seni dari Universitas Gadjah Mada, “Kentrung bukan sekadar pertunjukan; ia adalah sebuah dialog budaya yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat.” Seni ini tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, menyampaikan pesan moral melalui narasi yang sarat makna.
Di tengah ramainya pementasan yang mengandalkan teknologi, kentrung tetap memegang tempat tersendiri dalam hati banyak orang.
Suatu sore, saya menyaksikan pementasan kentrung di sebuah desa kecil di Yogyakarta. Seorang pelawak dan pemain musik mengajak penonton bernostalgia dengan cerita-cerita lokal, dan tawa pun bergema seiring dentingan alat musik tradisional.
“Kentrung adalah jembatan antara generasi,” ujar Budi Santoso, seorang pelaku kentrung senior, sambil tersenyum lebar.
“Ia mengingatkan kita pada kekayaan budaya yang sering kali terlupakan.”
Kentrung di Panggung Teater: Menemukan Identitas Baru
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa seniman telah mencoba mengadaptasi kentrung ke dalam bentuk pertunjukan teater yang lebih formal.
Ini adalah langkah berani, tetapi juga penuh tantangan. “Kentrung harus bisa bertransformasi tanpa kehilangan esensinya,” kata Dr. Rina Astuti, pakar teater dari Institut Seni Indonesia.
Dalam pandangannya, “Jika tidak, kita hanya akan melihat kentrung sebagai seni pertunjukan yang kehilangan jiwa.”Transformasi ini telah menciptakan peluang baru, tetapi juga mengundang kritik.
Di satu sisi, pementasan kentrung yang dipadukan dengan elemen teater modern menarik perhatian generasi muda.
Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa esensi asli kentrung akan sirna. Sebuah survei yang dilakukan oleh Yayasan Kesenian Indonesia menunjukkan bahwa 65% responden berusia 18-30 tahun tidak mengetahui tentang seni kentrung, meski mereka sangat akrab dengan berbagai bentuk hiburan digital.
Era Digital: Antara Ancaman dan Peluang
Di era serba digital ini, di mana TikTok dan Instagram menguasai perhatian publik, kentrung seolah menghadapi ujian yang berat. Namun, bukan berarti seni ini tidak dapat beradaptasi.
Beberapa pelaku seni mulai memanfaatkan platform digital untuk mempromosikan kentrung. Melalui video pendek yang lucu dan menghibur, mereka berusaha menjangkau audiens yang lebih luas.
Misalnya, akun TikTok @KentrungHits berhasil mengumpulkan ribuan pengikut dalam waktu singkat, dengan memadukan elemen humor dan cerita kentrung yang khas. “Kami ingin menunjukkan bahwa kentrung bisa tetap relevan di era ini,” jelas Dito, salah satu pengelola akun. “Kami mengemas cerita lama dengan cara baru tanpa mengubah maknanya.”Namun, adaptasi ini bukan tanpa kritik.
Beberapa purist merasa bahwa kentrung yang dihadirkan di platform digital telah kehilangan kedalaman emosionalnya. Seperti yang diungkapkan oleh Rani, seorang penggemar kentrung: “Saya suka melihat kentrung dipentaskan, rasanya lebih hidup dibandingkan hanya menontonnya di layar.”
Kentrung: Antara Lenyap dan Bertransformasi
Maka, kembali kepada pertanyaan awal, apakah kentrung masih relevan di zaman digital? Jawabannya mungkin tidak hitam putih.
Kentrung tidak akan lenyap begitu saja, tetapi akan terus bertransformasi. Ia akan menghadapi tantangan untuk tetap relevan, tidak hanya sebagai seni tutur tetapi juga sebagai pertunjukan yang mampu menarik perhatian generasi baru.
Kentrung, dengan segala kompleksitasnya, bukan hanya sebuah seni; ia adalah cermin budaya yang mencerminkan perjalanan masyarakat.
Di tangan para seniman dan pelaku kreatif, ia memiliki potensi untuk tumbuh dan beradaptasi, meskipun di tengah gelombang modernitas yang tak terhindarkan.
Seperti yang dikatakan Budi Santoso, “Seni kentrung akan selalu ada, selama ada yang ingin mendengar ceritanya.” Dan dengan semangat itu, kita bisa berharap bahwa cerita kentrung akan terus hidup, menunggu untuk diceritakan kembali.