SastraNusa – Langit mulai memerah, suara azan hampir berkumandang. Di sudut sebuah rumah, seorang ibu membangunkan anaknya yang tertidur di sofa.
“Bangun, jangan tidur magrib-magrib, nanti diganggu makhluk halus!” Suara tegas itu memecah keheningan.
Bagi sebagian orang, peringatan semacam ini bukan hal baru.
Tidur menjelang magrib dianggap pamali, mitos yang terus hidup hingga kini.
Pamali ini berakar dari kepercayaan masyarakat tradisional.
Menurut cerita yang diwariskan, tidur saat senja dianggap membuka pintu bagi gangguan gaib.
Tetapi, benarkah hal ini hanya mitos belaka, atau ada fakta ilmiah yang tersembunyi di baliknya?
Pamali dan Kepercayaan Leluhur
Kepercayaan mengenai tidur menjelang magrib erat kaitannya dengan budaya Nusantara.
Waktu senja dianggap sakral, peralihan dari terang menuju gelap.
Dalam tradisi, senja adalah saat makhluk halus mulai keluar, mencari-cari “sasaran” di dunia manusia.
Larangan ini biasanya disampaikan melalui kisah-kisah menyeramkan.
Anak kecil yang tidur saat magrib konon akan diganggu makhluk seperti wewe gombel atau roh penasaran.
Sebagai upaya preventif, orang tua memilih membangunkan anak mereka agar terhindar dari hal-hal buruk.
Selain itu, waktu senja sering dipandang sebagai momen introspeksi dan doa.
Tidur di waktu ini dianggap melewatkan kesempatan untuk berkomunikasi dengan Sang Pencipta.
Jadi, larangan tidur menjelang magrib bukan hanya soal mitos, tetapi juga soal nilai-nilai spiritual.
Fakta Medis di Balik Tidur Senja
Meski terdengar mistis, larangan tidur saat magrib ternyata memiliki justifikasi medis.
Penelitian menunjukkan bahwa tidur di waktu senja dapat mengganggu ritme sirkadian tubuh.
Ritme ini adalah jam biologis yang mengatur aktivitas harian, termasuk tidur dan bangun.
Tidur menjelang malam sering kali membuat seseorang merasa lesu saat bangun.
Hal ini karena tubuh memasuki fase tidur ringan, tetapi tidak cukup lama untuk memulihkan energi.
Akibatnya, tubuh justru menjadi lemas, bukannya segar.
Selain itu, tidur di waktu yang tidak tepat dapat memengaruhi kualitas istirahat malam.
Seseorang yang tidur sore hari mungkin sulit terlelap di malam hari.
Pola tidur yang kacau bisa berdampak buruk pada kesehatan jangka panjang, termasuk risiko insomnia dan gangguan metabolisme.
Membedah Perspektif Sosial
Dari sudut pandang sosial, larangan tidur menjelang magrib juga mencerminkan disiplin waktu.
Pada masa lalu, waktu senja sering digunakan untuk berkumpul bersama keluarga, berbagi cerita, atau beribadah.
Tidur di waktu ini dianggap sebagai tindakan yang tidak produktif.
Kebiasaan ini bertujuan untuk membangun hubungan yang lebih erat di antara anggota keluarga.
Dengan melarang tidur sore, orang tua mengajarkan pentingnya memanfaatkan waktu dengan bijak.
Nilai-nilai ini tetap relevan meski zaman telah berubah.
Namun, di era modern, larangan ini kadang dianggap kuno.
Padahal, makna di baliknya adalah tentang bagaimana manusia menghormati waktu dan menjaga harmoni dalam kehidupan sehari-hari.
Antara Mitos dan Fakta, Bagaimana Menyikapinya?
Mitos sering kali dianggap sebagai bentuk ketakutan tanpa dasar.
Tetapi, dalam konteks larangan tidur menjelang magrib, mitos ini berfungsi sebagai alat edukasi.
Melalui cerita-cerita menyeramkan, orang tua mengajarkan anak-anak mereka untuk lebih waspada dan menghargai waktu.
Fakta medis tentang dampak tidur sore juga mendukung larangan ini.
Kombinasi antara kepercayaan tradisional dan ilmu pengetahuan membuat pamali ini tetap relevan.
Oleh karena itu, menyikapi larangan ini tidak perlu dengan skeptisisme berlebihan.
Yang terpenting adalah memahami makna di balik larangan tersebut.
Tradisi ini mengajarkan pentingnya disiplin, menjaga ritme hidup, dan menghormati waktu-waktu tertentu yang dianggap sakral.
Mewariskan Nilai Positif
Pamali tidur menjelang magrib mungkin terlihat sederhana, tetapi ia menyimpan nilai-nilai yang dalam.
Ia adalah warisan budaya yang mengajarkan harmoni antara manusia dengan alam semesta.
Di tengah modernitas, penting untuk tetap menjaga tradisi ini tanpa mengabaikan akal sehat.
Mitos dan fakta bisa berjalan berdampingan, menciptakan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini.
Dengan memahami esensinya, larangan ini bukan lagi sekadar cerita seram, melainkan pengingat untuk menjalani hidup dengan kesadaran dan penghormatan terhadap waktu.(*)