SastraNusa – Puisi “Akulah Darahmu” karya D. Zawawi Imron membawa pembaca pada pemahaman mendalam tentang perjuangan rakyat kecil.
Dengan kekhasan bahasa yang puitis dan kuat, puisi ini membicarakan kerasnya kehidupan yang sering dialami masyarakat kelas bawah.
Di dalam larik-lariknya, tersirat jeritan mereka yang terpinggirkan, mereka yang hidup dalam keterbatasan namun tak kehilangan semangat.
Dalam pendekatan Marxisme, karya ini dapat ditafsirkan sebagai cerminan perjuangan kelas yang sangat jelas.
Melalui kata “darah”, Zawawi menggambarkan penderitaan sekaligus ketangguhan mereka yang berada di lapisan bawah.
Darah, yang hadir sebagai simbol utama, menggambarkan keberanian dan kekuatan yang tetap bertahan meski diliputi ketidakadilan sosial.
Puisi ini seolah menjadi suara yang memperlihatkan bagaimana masyarakat kecil seringkali diabaikan oleh kelas berkuasa, namun tetap teguh dalam menghadapi tekanan hidup.
Marxisme, yang fokus pada pertentangan kelas antara kaum tertindas dan kaum penguasa, cocok untuk menganalisis bagaimana puisi ini menggambarkan kesenjangan sosial.
Dalam puisi ini, rakyat digambarkan sebagai darah yang terus mengalir, simbol yang memperlihatkan bahwa kekuatan mereka tak pernah padam.
Meski mereka hidup dalam lingkungan yang keras, kekuatan untuk bertahan selalu ada.
Zawawi membawa perspektif bahwa rakyat kecil, meski tertindas, memiliki energi yang menggerakkan kehidupan.
Puisi ini bukan sekadar ungkapan estetis, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.
Zawawi menulis puisi ini dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, sehingga menyentuh sisi kemanusiaan pembaca.
Ia menggambarkan kondisi rakyat kecil yang seolah tak ada habisnya berjuang menghadapi beban hidup.
Dalam pendekatan Marxis, kondisi ini menunjukkan bagaimana kelas bawah dipaksa untuk bekerja keras tanpa kepastian akan hidup yang layak.
Simbol darah dalam puisi ini juga menandakan identitas keberanian, ketangguhan, dan semangat hidup.
Dalam kehidupan yang keras, masyarakat Madura terbiasa menghadapi tantangan dengan kepala tegak.
Zawawi menyampaikan bahwa kehidupan di kelas bawah bukanlah sesuatu yang harus dikasihani, tetapi dihargai.
Ia menunjukkan bahwa darah rakyat kecil adalah cermin kekuatan yang berani melawan penindasan, berani melawan nasib yang sulit.
Di balik kata-kata dalam puisi ini, kamu akan menemukan harapan yang menggambarkan kekuatan rakyat untuk tetap hidup dan bertahan.
Pesan Zawawi jelas, yiatu, keberanian adalah milik mereka yang berani menghadapi hidup tanpa merasa kalah.
Dengan pendekatan Marxisme, puisi “Akulah Darahmu” dapat dibaca sebagai manifesto perlawanan, bukti keberanian dari kelas bawah yang menolak untuk menyerah.
Sebagai penutup, “Akulah Darahmu” adalah bentuk kepekaan Zawawi terhadap nasib rakyat yang tertindas.
Di dalamnya, tersemat pesan bahwa meskipun hidup tak berpihak, rakyat kecil akan tetap bertahan.
Puisi ini menjadi simbol bahwa keberanian dan keteguhan adalah milik mereka yang berani menghadapi dunia yang keras.(*)