SastraNusa – Di sebuah sudut kota, tampak seorang anak muda tengah berinteraksi dengan seorang kakek yang duduk di depan rumahnya. Sang kakek, dengan keriput yang menandakan perjalanan hidupnya yang panjang, tengah memberi petuah tentang bagaimana seharusnya menghormati orang yang lebih tua.
Namun, si anak muda hanya menanggapinya dengan anggukan singkat, lalu melanjutkan bermain dengan ponselnya. Pemandangan seperti ini, barangkali, tidak lagi asing.
Unggah-ungguh, sebuah istilah dalam budaya Jawa yang merujuk pada tata krama atau etika dalam berinteraksi dengan sesama, yang seakan kian terkikis di tengah perkembangan zaman yang serba cepat.
Sejak dahulu, unggah-ungguh menjadi fondasi bagi masyarakat Jawa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Setiap aspek kehidupan, mulai dari cara berbicara, cara berjalan, hingga cara memberikan salam, diatur dalam norma-norma etika yang kuat.
Orang tua, misalnya, dihormati dengan tata bahasa yang berbeda, menggunakan tingkatan bahasa Jawa seperti krama inggil untuk menunjukkan rasa hormat yang mendalam.
Namun, di era globalisasi yang semakin menggerus nilai-nilai tradisional, unggah-ungguh perlahan mulai terabaikan.
Gempuran teknologi dan budaya populer yang datang dari berbagai belahan dunia telah menciptakan jurang yang semakin lebar antara generasi tua dan muda.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, lebih dari 60 persen generasi muda di Indonesia lebih memilih berinteraksi dalam bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris, daripada menggunakan bahasa daerah seperti Jawa.
Fenomena ini tentu tidak hanya mengancam kelangsungan bahasa, tetapi juga nilai-nilai unggah-ungguh yang terkandung di dalamnya.
Modernisasi, Maju tapi Kehilangan Akar
Kemajuan teknologi dan modernisasi memang membawa banyak manfaat, terutama dalam hal kemudahan komunikasi dan akses informasi.
Namun, di sisi lain, modernisasi juga memicu perubahan sosial yang signifikan, termasuk dalam hal pola interaksi antarindividu.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang, nilai-nilai tradisional seperti unggah-ungguh sering dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman.
Padahal, unggah-ungguh tidak hanya tentang formalitas, melainkan juga menyiratkan rasa hormat dan kesopanan yang menjadi perekat dalam hubungan antar manusia.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2021 mengungkapkan, bahwa lebih dari 70 persen responden dari kalangan generasi Z merasa unggah-ungguh adalah sesuatu yang “terlalu rumit” dan “membatasi kebebasan berekspresi.”
Data ini menunjukkan bahwa ada pergeseran nilai di kalangan anak muda, di mana tata krama dianggap sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan semangat kebebasan dan individualisme yang menjadi ciri khas generasi ini.
Pengaruh Budaya Populer
Tidak dapat dipungkiri, budaya populer yang dibawa oleh media massa dan platform digital telah memberikan pengaruh yang besar terhadap cara pandang anak muda terhadap tradisi dan norma sosial.
Program televisi, film, dan musik yang mendominasi layar kaca dan platform streaming cenderung mengedepankan gaya hidup modern yang bebas dari sekat-sekat formalitas.
Kata-kata sapaan seperti “mas,” “mbak,” atau bahkan penggunaan krama inggil dalam percakapan sehari-hari semakin jarang ditemui.
Budaya populer yang lebih condong ke arah individualisme dan kebebasan berekspresi, sering kali menggantikan nilai-nilai unggah-ungguh yang menekankan pada rasa hormat dan penghargaan terhadap orang lain.
Akibatnya, banyak anak muda yang merasa bahwa mereka tidak perlu lagi mengikuti aturan-aturan tata krama yang dianggap ketinggalan zaman.
Padahal, dalam konteks budaya Jawa, unggah-ungguh memiliki peran penting dalam menjaga harmoni dan keseimbangan sosial.
Pendidikan dan Peran Keluarga
Di tengah situasi ini, pendidikan dan peran keluarga menjadi kunci dalam menjaga agar nilai-nilai unggah-ungguh tetap hidup.
Sayangnya, dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan formal di Indonesia lebih banyak menekankan pada aspek akademis dan kurang memberi ruang bagi pembelajaran nilai-nilai budaya dan etika tradisional.
Kurikulum yang ada lebih berfokus pada pencapaian akademik dan keterampilan teknis, sementara pembelajaran tentang tata krama dan etika sosial semakin terpinggirkan.
Peran keluarga sebagai unit sosial terkecil juga menghadapi tantangan besar.
Banyak orang tua yang kini lebih sibuk dengan pekerjaan dan kurang memiliki waktu untuk mendidik anak-anak mereka tentang pentingnya unggah-ungguh.
Dalam keluarga-keluarga modern, terutama yang tinggal di perkotaan, interaksi antar anggota keluarga sering kali terbatas pada percakapan singkat, dengan lebih banyak waktu yang dihabiskan di depan layar ponsel atau komputer.
Sebagai hasilnya, generasi muda tumbuh tanpa pemahaman yang mendalam tentang pentingnya unggah-ungguh.
Mereka lebih terbiasa dengan cara-cara berkomunikasi yang bersifat egaliter dan informal, tanpa mempertimbangkan perbedaan usia atau status sosial.
Padahal, dalam budaya Jawa, tata krama adalah wujud penghormatan yang mendalam terhadap orang lain, bukan sekadar formalitas belaka.