SastraNusa – Sastra Indonesia di era 80-an, kerap dipandang sebagai masa keemasan bagi perkembangan puisi. Kala itu, karya-karya puisi tidak hanya indah dalam pilihan katanya, tetapi juga tajam dalam menyuarakan kritik sosial, politik, serta refleksi mendalam atas kehidupan.
Namun, di tengah arus perkembangan zaman dan modernisasi, puisi masa kini sering dianggap kehilangan tajinya.
Apakah benar bahwa puisi zaman sekarang hanya fokus pada estetika semata, tanpa menyentuh kedalaman makna yang kuat seperti di masa lampau?
Sebagian besar penikmat sastra merindukan daya pukul puisi era 80-an yang berani dan menggigit.
Penyair-penyair besar seperti W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Chairil Anwar menjadi simbol dari suara-suara yang menggema, bukan hanya di telinga, tapi di hati dan pikiran pembacanya.
Puisi pada masa itu seperti pisau yang mengiris, membuka kesadaran, dan menghadirkan renungan-renungan serius tentang keadaan sosial.
Sementara itu, puisi masa kini justru cenderung bermain di wilayah keindahan kata, estetika, dan keharuan yang dangkal.
Kekuatan dalam Kata Puisi Era 80-an
Puisi di era 80-an sering kali melampaui batas estetika semata. Penyair seperti W.S. Rendra menggabungkan elemen keindahan dengan kritik sosial yang tajam.
Melalui kata-kata yang sederhana namun bermakna dalam, ia mampu menyuarakan keresahan masyarakat terhadap kondisi politik dan ketidakadilan.
Puisi menjadi medium yang kuat untuk menyampaikan perlawanan, mengungkap ketidakpuasan, dan menggugah kesadaran kolektif.
Data dari berbagai studi sastra menunjukkan bahwa pada masa itu, puisi sering digunakan sebagai alat propaganda, sarana untuk menyuarakan perlawanan terhadap rezim yang otoriter, serta bentuk protes terhadap ketimpangan sosial.
Karya-karya puisi menjadi bagian dari gerakan intelektual yang menentang penindasan. Penyair tidak hanya menciptakan keindahan, tetapi juga bertanggung jawab untuk menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan.
Menurut sebuah kajian sastra dari Universitas Indonesia pada tahun 2019, puisi era 80-an memiliki unsur kritik yang lebih dominan dibandingkan dengan karya-karya masa kini.
Para penyair pada masa itu berani mengambil risiko, menyuarakan hal-hal yang tidak nyaman, dan mendorong pembaca untuk berpikir lebih kritis.
Ini adalah salah satu alasan mengapa karya-karya dari era tersebut tetap relevan hingga saat ini.
Estetika dan Kehampaan Puisi Modern
Sebaliknya, banyak kritikus sastra berpendapat bahwa puisi masa kini sering kali terjebak dalam permainan kata yang indah tanpa menyentuh makna yang mendalam.
Keindahan bahasa menjadi fokus utama, sementara kritik sosial dan kedalaman refleksi sering terabaikan.
Puisi yang dihasilkan terasa ringan, seperti angin yang berlalu tanpa meninggalkan kesan mendalam.
Generasi baru penyair cenderung lebih berfokus pada eksplorasi estetika, menggunakan bahasa yang penuh metafora dan simbol, namun terkadang kehilangan substansi yang kuat.
Data dari studi sastra kontemporer di Indonesia menyebutkan bahwa tema-tema yang diangkat oleh penyair modern lebih banyak berkisar pada persoalan personal, cinta, dan keindahan alam, dengan sedikit sentuhan pada isu-isu sosial yang lebih luas.
Namun, tidak berarti bahwa semua puisi masa kini kehilangan kekuatan. Ada juga penyair-penyair muda yang mencoba mempertahankan tradisi kritis dari masa lalu, meski jumlahnya lebih sedikit.
Tantangan bagi para penyair masa kini adalah bagaimana menyelaraskan estetika dengan kedalaman makna, menciptakan puisi yang tidak hanya indah di permukaan, tetapi juga memicu pemikiran kritis di benak pembacanya.
Puisi Menjadi Sebuah Tantangan bagi Generasi Masa Kini
Melihat perkembangan ini, pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, apakah puisi masa kini hanya akan mentok di keindahan semata, atau masih ada harapan untuk mengembalikan kekuatan kritisnya?
Generasi baru penyair menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan dengan penyair era 80-an.
Mereka hidup di zaman di mana kebebasan berekspresi lebih luas, namun di sisi lain, tuntutan estetika dan komersialisme juga semakin kuat.
Dalam konteks ini, penting bagi para penyair untuk terus menggali isu-isu sosial, politik, dan kemanusiaan yang masih relevan di masyarakat.
Puisi harus kembali menjadi medium yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menggugah pemikiran.
Jika puisi hanya fokus pada keindahan tanpa memberikan makna yang mendalam, maka ia akan kehilangan esensinya sebagai seni yang mampu mempengaruhi perubahan.
Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia masih menghadapi berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Ini adalah ladang subur bagi para penyair untuk kembali menyuarakan kritik dan perlawanan melalui karya-karyanya.
Puisi tidak hanya tentang estetika, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial.
Penyair Harus Menemukan Keseimbangan antara Keindahan dan Kekuatan
Puisi masa kini memiliki potensi untuk tetap relevan dan kuat, asalkan penyair mampu menemukan keseimbangan antara keindahan dan kedalaman makna.
Karya puisi yang hanya terjebak dalam keindahan kata tanpa menyentuh isu-isu yang lebih besar akan cepat terlupakan.
Namun, puisi yang berani menyuarakan kritik sosial, sekaligus mempertahankan keindahan estetika, akan mampu bertahan dan memberi dampak lebih besar pada masyarakat.
Generasi penyair masa kini memiliki peluang untuk kembali menjadikan puisi sebagai medium perlawanan dan refleksi sosial.
Tantangannya adalah bagaimana menciptakan karya yang tidak hanya memanjakan telinga, tetapi juga menggugah kesadaran pembacanya.
Dengan demikian, puisi akan tetap hidup dan relevan di tengah arus perubahan zaman.(*)